Selasa, 27 Mei 2008

SOAL UTS Pak Engkus.

SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER
(TAKE HOME TEST)
PERSPEKTIF TEORI KOMUNIKASI
MAGISTER ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS MERCUBUANA


Apa yang Anda ketahui tentang Komunikologi? Apa persamaan dan perbedaannya dengan Ilmu Komunikasi?
Uraikan pemahaman Anda tentang teori Pesifatan (Traits), Temperamen dan Biologi! Kemukakan contoh-contohnya yang diambil dari Budaya Timur!
Seandainya Anda akan mengajukan sebuah teori komunikasi, teori apa yang Anda kemukakan, yang unik dan khas ide Anda sendiri? Uraikan teori komunikasi Anda tersebut dengan lengkap!


Catatan:

Jika Anda mengutip dari beberapa sumber, maka tulislah sumber kutipan tersebut dengan lengkap.

Jawaban boleh dikumpulkan sampai dengan tanggal 2 Juni 2008 pada Sdri. Ocha. Boleh didiskusikan pada hari Sabtu 31 Mei 2008, tetapi masing-masing mahasiswa hendaknya mengerjakan sendiri (tidak copy – paste dari kawannya).

Jika ditemukan ada kesamaan jawaban (copy – paste), maka nilainya akan dibagi sesuai dengan jumlah mahasiswa yang jawabannya sama tersebut.

Selamat bekerja!


27 Mei 2008
Dosen,
Prof. Engkus Kuswarno

Minggu, 25 Mei 2008

Model Komunikasi Akar Rumput

Di tradisi kita (masyarakat Asia), sebagai suatu aspek, keberadaan polling seperti People of The Year koran SINDO memang kurang berkembang layaknya berbagai poll service negara-negara Barat.
Apalagi dibandingkan dengan pemilu, misalnya, polling tentu tidak bisa mewakili semua suara rakyat. Namun, keberadaan polling seperti ini setidaknya membantu kita mencari model kepemimpinan ideal versi masyarakat. Satu aspek yang menarik disimak dari kepemimpinan ideal adalah akuntabilitas mereka sebagai figur pemimpin bagi rakyat. Figur pemimpin harus memiliki pengetahuan yang luas terkait apa yang dibutuhkan khalayak.
Dia harus bisa care dan peka terhadap masyarakat, bukan justru sibuk pada kalangan atas atau konglomerat. Pemimpin harus menyadari bahwa dia berkewajiban mewujudkan janji yang sebelumnya dia sampaikan kepada rakyat. Artinya keberadaan sosok pemimpin ideal itu harus sejajar dengan keinginan rakyat.
Saya melihat dari konteks sejarah kepemimpinan di Indonesia,unsur budaya Melayu yang inklusif begitu dominan memengaruhi gaya seorang pemimpin. Budaya kita cenderung menekankan budaya yang lebih sopan, halus —suatu nilai yang selama ini dianut masyarakat kita. Bahkan kalau kita lihat di Indonesia, Soekarno, Mohammad Hatta, Mohammad Natsir, Sutan Sjahrir banyak bicara mengenai unsur tradisi, dimensi manusiawi, ekonomi kerakyatan. Itu bagi saya seperti musyawarah, gotong-royong, semua dimanfaatkan untuk meningkatkan kepahaman masyarakat dan policy bagi rakyat.
Ada stereotip bahwa budaya Melayu cenderung pasif dan tunduk absolut kepada pemimpin. Namun saya tidak anggap itu sebagai ciri khusus. Budaya Melayu tidak seperti itu. Sikap kebertundukan mungkin menjadi sisa dari budaya pemimpin tradisional yang feodal. Sejatinya, budaya Melayu justru lebih pada budaya kerakyatan yang modern dan demokratis.
Dalam konteks ini, budaya Melayu dari segi musyawarah, gotong-royong ––kalau itu dihidupkan dalam pandangan kepemimpinan––, rakyat bisa selevel untuk melontarkan teguran, pandangan, penilaian terhadap sosok pemimpin.
Berbeda dengan Malaysia, Indonesia kini lebih bebas dan terbuka.Masyarakat berbicara didengar. Khalayak bisa menyampaikan aspirasinya secara terbuka.Jadi, suasana demokratis dan bebas itu membantu mengangkat hak dan kepahaman serta kepercayaan diri rakyat untuk mengungkapkan permasalahan dan pandangan terhadap tokoh-tokoh pemimpin —adanya polling seperti People of The Year mungkin salah satu mediumnya. Inilah model komunikasi dua arah rakyat dan elite yang sudah terjadi di Indonesia.Sementara di Malaysia justru masih one way.
Nilai Keislaman
Selanjutnya, saat berbicara mengenai nilai kepemimpinan di ranah Melayu, hal itu tidak pula dapat dilepaskan dari nilai-nilai keislaman. Dalam perspektif ini, nilai-nilai luhur Islam yang universal,soal kekuatan moral,etika,kepemimpinan, dan soal pertanggungjawaban mengemuka.
Akhirnya pertanggungjawaban seorang pemimpin bukan hanya kepada rakyat melalui pemilu, tapi ujungnya kepada Allah. Islam memang mengajarkan nilai akuntabilitas yang sangat tinggi. Sebenarnya saya tidak suka terhadap orang yang terlalu banyak bicara soal Islam, tetapi tidak menekankan diri pada kontennya.Di Malaysia ramai kampanyenya soal retorika Islam, tetapi korupsinya justru kian meningkat.Banyak elite politik tidak merasa segan atau malu memberi kontrak bisnis kepada anak-anak dan menantu mereka.
Belum lagi adanya kekejaman menahan kebebasan rakyat bersuara. Dalam konteks seperti ini, relevansi Islam sebagai sistem harusnya menjadi aspek yang mengedepan (mengemuka). Islam mengakui prinsip-prinsip seperti kebebasan, pertanggungjawaban serta kesejahteraan sosial dan ekonomi. Maka figur pemimpin harus berusaha memacu pertumbuhan ekonomi yang lebih laju; pemimpin harus memastikan bahwa aspek keadilan sosial,pemerataan kesejahteraan ditegakkan dengan seadiladilnya.
Pluralisme
Pada tatanan negara Melayu modern seperti Indonesia dan Malaysia, aspek multietnis tidak harus dijadikan masalah karena Allah menjadikan manusia itu sebagai kaum. Untuk apa kita dalam Alquran diperintahkan litaarafu; untuk saling mengenal, saling appreciate (menenggang) perbedaan.Nilai inilah yang harus dipahami pemimpin. Pemimpin harus bisa mewujudkan toleransi hingga perbedaan agama, kepercayaan, etnis ataupun ras tidak menjadi masalah.Adanya kasus pengekangan, diskriminasi terselubung ataupun marginalisasi kaum minoritas di suatu negeri tentu harus dihindari.Jika toh itu terjadi, ini tak lebih dari wujud iktikad pemimpin yang angkuh dan tidak menghormati kemanusiaan.
Role Model
Jika saya sekarang diminta untuk memilih satu tokoh Indonesia saat ini yang benar-benar saya kagumi, itu hal sukar bagi saya. Bagi saya, tokoh-tokoh di Indonesia saat ini adalah para sahabat saya dan saya tidak (bisa berada) dalam kapasitas memberi pilihan. Namun, melihat sejarah kepemimpinan Indonesia masa silam,di beberapa aspek, saya mengagumi Pak Natsir karena dia merupakan tokoh moderat, sederhana, berilmu, dan ide-idenya tentang pembangunan yang manusiawi begitu menginspirasi saya. Saya juga mengagumi Soekarno dari sisi nasionalismenya walau pada awalnya saya tidak setuju dengan beberapa pandangannya.
Sementara Hatta menjadi sosok inspirasional karena nilai-nilai kemanusiaan yang juga cukup kuat. Saya pengagum dia karena dia mengembangkan bidang ekonomi kerakyatan. Dan kini, melalui People of The Year,harapannya sekali lagi, SINDO bisa setidaknya memberi sarana yang mewakili suara masyarakat guna menentukan figur pemimpin pilihan yang menginspirasi. (*) Disarikan dari wawancara eksklusif SINDO pada 15 Desember 2007.
Dato Anwar Ibrahim
Mantan Wakil PM Malaysia Penasihat Partai Keadilan Rakyat

Pengaruh Teori Difusi Inovasi dan Media Multilangkah di Internet

Pengaruh Teori Difusi Inovasi dan Media Multilangkah di Internet

Internet adalah media massa generasi III yang belakangan ini banyak berperan dalam sebuah komunikasi massa.Dalam dunia cyber ini konteks komunikasi yang terjadi banyak sekali macamanya kalau dibahas satu per satu .Mulai dari komunikasi interpersonal yang dilakukan 2 orang yang sedang memanfaatkan fasilitas chatting di internet sampai pada level komunikasi massa dimana media beraksi dan mempengaruhi kehidupan kita.
Dalam pembahasan ini penulis akan lebih membahas pada konteks komunikasi massa dan komunikasi antar budaya.Mengapa 2 hal tersebut yang akan lebih lanjut dibahas?
Karena pada dasarnya internet adalah suatu media massa yang didalamnya terdapat interaksi oleh masyarakat dunia.Di dalam sebuah masyarakat yang dapat dikatakan sebagai Global Village , dimana semua informasi bisa didapatkan dan diketahui oleh semua orang tanpa memandang jarak dan waktu ,2 konteks komunikasi yang paling penting adalah komunikasi massa (mass communication) dan komunikasi antar budaya (cross cultural communication).
Komunikasi massa lebih mengarah pada masalah interaksi khalayak di internet dan cross cultural communication lebih mengarah pada perbedaan kultur budaya antar negara dalam sebuah proses komunikasi.
Komunikasi Massa (Mass Communication) mengandung pengertian bahwa praktek dan produk penyediaan hiburan dan informasi pada khalayak tidak dikenal (unknown audiences)melalui cara corporate industry procesed,state regulated ,high technology,privately consumed,in modern printed,screen ,radio,audio,internet and any broadcast media (disampaikan pada mata kuliah Komunikasi Massa ;Dosen Bonaventura Satya Bharata M,Si ; FISIP UAJY)
Dalam penggunaan teknologi internet pada komunikasi massa jelas sangat berpengaruh pada kegiatan/interaksi yang dilakukan di internet itu sendiri.Teori komunikasi yang biasa dilakukan media pada khalayak ,dalam hal ini adalah teori pengaruh media multi langkah yang akan dibahas pada bahasan selanjutnya.(McQuail,Denis , Teori Komunikasi Massa)
Komunikasi antar budaya (Cross Cultural Communication) megadung pengertian the pieces of the exchange of thought and meaning beetwen people of differing culture.(disampaikan pada mata kuliah Komunikasi Lintas Budaya;Dosen A.Eko.S,Ms ; FISIP UAJY)Konteks komunikasi antar budaya jika dihubungkan dengan media internet adalah ketika orang dari negara/ kultur / bangsa / budaya berbeda melakukan diskusi dalam sebuah forum di internet.Alasan pemilihan judul : Pengaruh Teori Difusi dan Teori Pengaruh Media Multi langkah karena teknologi pada Internet itu sendiri selalu berkembang ,demikian juga teknologi internet.Dahulu mungkin orang hanya bisa berinteraksi di internet secara tulisan lewat media chatting / MIRC .Tapi sekarang seiring dengan kemajuan teknologi,orang berinteraksi lewat internet secara face to face atau tatap muka dengan menggunakan webcam.Perubahan tampilan audio saja menjadi audio-visual dan perkembangannya adalah salah satu contoh dari bagian penerapan teori difusi inovasi.Sedangkan penerapan dari teori pengaruh media multi langkah salah satu contohnya ialah pada Jurnalisme online di Internet dimana audience juga ikut ambil bagian secara tidak langsung dalam proses editing berita dan berita yang selalu di update ,karena pengaruh media multi langkah berbunyi :”Media mempengaruhi orang banyak ,yang juga saling mempengaruhi ,selanjutnya mempengaruhi media (DeVito,Joseph A , 1997 , 524)
Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah ingin menjelaskan 2 hal yaitu Pengaruh Teori difusi dan Pengaruh Teori media multi langkah.2 Hal ini penulis angkat kasusnya karena yang pertama berkaitan dengan teori difusi inovasi yang menyebarkan kekuatan multimedia yang mengalami proses baru secara terus menerus dalam masyarakat.
Dan yang kedua adalah masalah mengenai Jurnalisme Online .Dalam Jurnalisme Online ini para pembaca dapat langsung merespon secara instan terhadap apa yang telah media kemukakan .Hal ini merupakan contoh nyata dari penerapan teori pengaruh media multi langkah dimana media mempengaruhi orang banyak,yang saling mempengaruhi kemudian mempengaruhi media itu sendiri.
Konsep / Teori yang digunakan :
1)Teori Difusi Inovasi
Difusi mengacu pada menyebarnya informasi baru ,inovasi atau proses baru ke seluruh masyarakat.Inovasi dapat bermacam-macam misalnya tampilan multimedia , komputer,monitor,belajar melalui pengalaman ,dll.(disampaikan pada diskusi kelas;mata kuliah Teori Komunikasi ; Dosen F.Anita Herawati H,M.Si.;FISIP UAJY)
Teori Difusi Inovasi ini penulis gunakan untuk menganalisis tentang masalah mengapa pemakaian MIRC / media interaksi secara tulisan di Internet menjadi jarang digunakan ketika orang sudah dapat berinteraksi secara tatap muka / face to face dengan webcam melalui media Yahoo Messenger .Hal ini akan dibahas pada bahasan selanjutnya.
2)Teori Pengaruh Media Multi Langkah
”Media mempengaruhi orang banyak ,yang juga saling mempengaruhi ,selanjutnya mempengaruhi media (DeVito,Joseph A , 1997 , 524)
Teori pengaruh media multi langkah ini penulis gunakan untuk menganalisis tentang masalah pada Jurnalisme Online dimana media mempengaruhi orang banyak lewat pemberitaanya ,kemudian audience/pembaca saling mempengaruhi dan selanjutanya mempengaruhi media itu sendiri melalui interkasi antara audience / pembaca dengan seorang Jurnalis Online.
ANALISIS
Penjelasan awal fenomena yang dianalisis :
Dari uraian di atas penulis akan membahas tentang 2 fenomena yang sekiranya menarik untuk dianalisis.Dalam analisis yang dilakukan oleh penulis terdapat 2 Teori Komunikasi yaitu :
1. Teori Difusi Inovasi
2. Teori Pengaruh Media Multi Langkah
Adapun penjelasan awal dari hal-hal di atas adalah sebagai berikut :
Teori Difusi Inovasi :
Sekitar tahun 1999 – 2000 aplikasi internet yang paling banyak digunakan waktu itu adalah MIRC atau penggunaan media chatting berupa tulisan untuk saling berinteraksi dengan para pengguna jasa layanan ini (disebut juga chatters).
Waktu itu seiring Internet yang mulai marak bagi kalangan muda sekitar tahun 1998,biasanya diakses oleh kaum muda untuk melakukan chatting selain hanya browsing di Internet.Saat itu biasanya sepulang sekolah anak-anak SLTP atau SMU berama-ramai pergi ke WARNET (warung internet) untuk melakukan chatting ,Biasanya warnet bertambah ramai lagi kalau malam minggu.Pengunjung warnet bahkan rela antri berjam-jam untuk melakukan chatting.Intinya pada tahun itu chatting merupakan fenomena yang sangat digemari bagi kauma muda saat itu.Tapi marilah kita lihat sekarang pada tahun 2005 ini ,jika kita memasuki MIRC kita lihat pada sebuah channel lokal katakanlah #yogyakarta ,atau #kafegaul tentunya para pengguna server tersebut tidak sebanyak pada tahun 2000.Orang sekarang lebih memilih untuk berinteraksi dengan Yahoo Messenger yang dapat menampilkan kualitas audio-visual (microphone dan webcam).Kalau hal ini terjadi tentu saja para user dari MIRC akan terus menurun tiap tahunnya.Mengapa Demikian?
Teori Pengaruh Media Multi Langkah
Jurnalisme Online pada dasarnya adalah sebuah tulisan yang melaporkan / memberitakan / menganalisa tentang sebuah fakta / kejadian yang berakar pada waktu,yang kemudian dipilih dan diolah oleh reporter , penulis , dan editor untuk memberitakan sebuah berita dari sudut pandang yang berbeda. (www.google.com , 22 April 2005 ,online journalism)
Jurnalisme pada awalanya hanya menggunakan alat cetak,namun seiring berkembanganya jaman Jurnalisme sekarang dapat diberitakan melalui media Internet.
Masalahnya sekarang adalah bahwa dalam Jurnalisme Online ,para pembaca dibiarkan untuk ikut ambil bagian / berperan dalam sebuah berita / analisa yang dikemukakan oleh sang penulis.Pembaca dapat langsung merespon secara instan terhadapa apa yang telah dikemukakan oleh seorang penulis dalam Jurnalisme Online.Jadi dalam hal ini hubungan antara media (Jurnalisme Online) dan Pembaca (pengaksesnya) merupakan pengaruh dari Teori Media Multi langkah.
Analisis dari masalah diatas :
Analisis Teori Difusi Inovasi :
Sebelumnya telah dibahas mengenai penjelasan awal tentang tergesernya MIRC (aplikasi chatting di Internet) oleh Yahoo Messenger (aplikasi chatting dengan tampilan audio-visual).Masalahnya mengapa orang sudah mulai meninggalkan MIRC ?
Masalah tersebut sebenarnya merupakan pengaruh dari teori Difusi Inovasi,seperti yang telah dijelaskan pada asumsi konsep pada bahasan sebelumnya dimana dalam Teori Difusi Inovasi ini terdapat apa yang disebut sebagai Proses Adopsi.Proses Adopsi mengacu pada reaksi positif orang trehadap inovasi dan pemanfaatanya.Dalam proses adopsi ini William McEwen mengidentifikasikan 3 tahap umum.Identifikasi McEwen ini sejalan dengan masalah berpindahnya para pengguna MIRC ke Yahoo Messenger.
Adapun 3 tahapan itu adalah :
1)Tahap Akuisisi Informasi :
Orang memperoleh dan memahami Informasi tentang Inovasi.
Contohnya : Orang-orang memperoleh informasi tentang keunggulan Yahoo Messenger daripada MIRC,kemudian mempelajarinya dan mencobanya.
2)Tahap Evaluasi Informasi :
Orang mengevalusi informasi tentang inovasi.
Contohnya : Orang –orang menyadari bahwa Yahoo Messenger lebih menarik,efektif,dan asik untuk digunakan daripada MIRC
3)Tahap Adopsi :
Orang melaksanakan / menolak inovasi.
Contohnya :Orang-orang sudah mulai menggunakan Yahoo Messenger,dan pelan- pelan MIRC mulai ditinggalkan.
Dengan penjelasan di atas kiranya pertanyaan tentang mengapa MIRC mulai ditinggalkan usernya sudah terjawab.Orang-orang sebagai khalayak sudah mulai berpikir untuk menggunakan sesuatu hal yang baru yang kiranya lebih efektif jika digunakan.
Analisis Teori Pengaruh Media Multi Langkah
Sebelumnya telah dijelaskan diatas bahwa dalam Jurnalisme Online ,audience juga ikut ambil bagian secara tidak langsung dalam editing berita.Dalam hal ini yang terjadi adalah pengaruh teori media multi langkah karena teori multi langkah ini tampaknya lebih akurat dalam menjelaskan apa yang terjadi dalam pembentukan opini dan sikap.
Sebagai contoh,dalam membaca artikel detik.com di Internet tentang pemberontakan dan pemogokan kerja oleh karyawan BBC media menampilkan bahwa seolah-olah BBC akan membuang 40% karyawannya.Namun dalam hal ini audience yang membaca berita itu merasa berita itu kurang akurat.Maka seorang pembaca mendiskusikan masalah ini dengan pembaca lain dan akhirnya memperoleh kesimpulan bahwa BBC hanya mengurangi karyawan untuk meningkatkan profesionalisme di dunia kerja mereka.Kemudian para pembaca yang memiliki suatu data dan argumen tentang masalah ini, mengirimkan e-mail kepada redaktur di detik.com untuk mengubah /mengupdate beritanya.E-mail yang dikirimkan pembaca selajutnya diterima oleh editor.Kemudian editor merasa bahwa beritanya memang perlu di up-date demi keakuratan suatu berita sehingga dalam hal ini peran pembaca dapat mempengaruhi media.
Dalam hal ini pembaca dipengaruhi oleh media pada awalanya.Namun sesudah itu terjadi, pembaca yang memiliki suatu opini dapat juga mempengaruhi media dengan mengirim up-date an suatu berita.

Prinsip-prinsip komunikasi

Prinsip-prinsip komunikasi
1. Komunikasi adlh suatu proses simbolik.
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang menggunakan lambang. Susanne K. Langer: salah satu kebutuhan pokok komunikasi manusia adalah kebutuhan simbolisasi atau penggunaan lambang. Lambang atau simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku nonverbal, dan obyek yang maknanya disepakati bersama, misalnya mengibarkan bendera putih dalam situasi perang menandakan pihak tersebut menyerah. Lambang adalah salah satu kategori tanda. Lambang menjembatani hubungan antara manusia dengan objek (mulyana, 2005:84).
Ada 3 kategori tanda :
a. Lambang
b. Ikon
c. Indeks
Ikon adalah suatu benda fisik yang menyerupai apa yang direpresantasikannya (bisa dua atau tiga dimensi). Misalkan patung Sooekarno adalah representasi dari Soekarno.
Indeks adalah suatu tanda yang secara alamaiah merepresentasikan objek lainnya. Indeks disebut juga sinyal (signal) atau gejala (symptom). Indeks muncul berdasarkan hubungan antara sebab dan akibat yang punya kedekatan eksistensi. Misalnya awan gelap adalah indeks hujan akan turun.
Beberapa sifat lambang :
a. Lambang bersifat sebarang
Apa saja bisa dijadiakn lambang, bergantung pada kesepakatan bersama.
b. Lambang tidak mempunyai makna, kitalah yang memberi makna pada lambang
Makna sebenarnya ada dalam kepala kita, bukan terletak pada lambang itu sendiri. Oleh karena itu adanya kesepakatan merupakan kata kunci diakuinya suatu lambang.
c. Lambang itu bervariasi
Lambang itu bervariasi dari suatu budaya ke budaya lain, dari suatu tempat ke tempat lain, dan dari suatu konteks waktu ke konteks waktu yang lain
Berkaitan dengan lambang ini patut kita sadari bahwa seringkali manusia lebih mementingkan lambang daripada hakikat yang dilambangkan. Manusia berjibaku, bersaing untuk mendapatkan atau bahkan memperebutkan lambang.
(gambar berbagai macam tanda yang memiliki arti berbeda di tiap budaya)
Perhatikan !!
• Cari suatu perilaku non verbal yang mempunyai maksud atau dipahami secara berbeda oleh 2 kelompok masyarakat !
• Di mana pentingnya kajian tentang prinsip komunikasi ini ?

2. Setiap perilaku mempunyai potensi komunikasi
We cannot not communicate. Kita tidak bisa tidak berkomunikasi. Kita selalu berkomunikasi bahkan ketika kita berpikir bahwa kita tidak sedang berkomunikasi atau tidak ingin berkomunikasi. Bahkan diam-pun bisa berarti sesuatu, tetapi ini tidak berarti bahwa semua perilaku adalah komunikasi. Komunikasi baru tercipta ketika seseorang memberi makna pada perilaku orang lain atau perilakunya sendiri. Contoh , seorang mahasiswa duduk paling belakang di kelas dengan wajah tanpa ekspresi dan tatapan kosong. Meskipun mahasiswa tersebut berkata bahwa ia sedang tidak berkomunikasi dengan dosen atau dengan mahasiswa lain tetapi dari perilaku mahasiswa tersebut jelas-jelas tersirat bahwa dia tidak tertarik dengan materi di kelas karena itu melamun atau ingin kelas segera mungkin bubar.
Mungkin implikasi terbesar dari prinsip bahwa komunikasi itu adalah hal yang tidak terelakkan adalah bahwa kita perlu sebisa mungkin belajar mengontrol, menggunakan seefektif mungkin segala macam aspek perilaku kita karena segala sesuatu mengenai diri kita itu kita komunikasikan baik kita sadari atau tidak sadari. Tidak hanya kata-kata yang kita ucapkan tetapi juga cara kita berpakaian, cara kita berjalan, cara kita mengeluh, cara kita berterima kasih, cara kita melakukan kontak mata atau menghindari kontak mata mengkomunikasikan semuanya.
Jika kita berharap untuk sebisa mungkin memahami orang lain, kita perlu memperhatikan pesan dan makna yang tidak secara jelas dikirimkan oleh mereka seperti pesan yang terkirim dari baju, gerakan tubuh, kontak mata bahkan diam (Devito, 1989:24)

3. Komunikasi mempunyai dimensi isi dan hubungan.
-Dimensi isi (verbal), menunjukkan muatan (isi) komunikasi, yaitu apa yang dikatakan.
-Dimensi hubungan (nonverbal), menunjukkan bagaimana cara mengatakannya yang juga mengisyaratkan bagaimana seharusnya pesan itu ditafsirkan.
Oleh karena itu, isi yang sama bisa bermakna berbeda jika disampaikan dengan cara yang berbeda. Misalnya seorang dosen berkata pada mahasiswanya ”temui saya sesudah kelas bubar” dengan ”tolong nanti sehabis kuliah kita ketemu di ruang dosen”. Isinya sama tetapi dari cara penyampaiannya yang berbeda bisa menghasilkan makna berbeda. Yang pertama mungkin karena diucapkan dengan nada tinggi kita bisa menebak apa yang akan terjadi nanti, mungkin mahasiswa akan kena marah.
Dalam komuniaksi massa, pemilihan jenis media adalah dimensi hubungan >> the medium is the message.
Ditinjau dalam konteks komunikasi antarpribadi, dikatakan bahwa secara umum pria lebih fokus pada dimensi isi sedangkan wanita lebih fokus pada dimensi hubungan.
Perhatikan !!
• Apa tema surat kabar pagi ini ?
• Mengapa tema tersebut menjadi penting atau diangkat oleh media tersebut ?
• Mengapa ada berita yang dilengkapi foto dan tidak ?
4. Komunikasi itu berlangsung dalam berbagai tingkat kesengajaan.
Komunikasi dilakukan dari berbagai tingkat kesengajaan, dari komunikasi yang tidak disengaja sama sekali hingga komunikasi yg benar-benar direncanakan dan disadari. Kesengajaan bukanlah syarat untuk terjadinya komunikasi. Meskipun kita sama sekali tidak bermaksud menyampaikan pesan kepada orang lain, perilaku kita potensial untuk ditafsirkan orang lain. Kita lebih banyak mengeluarkan pesan non verbal yang tdk sengaja dibanding verbal. Kita tidak dapat mengendalikan orang lain untuk menafsirkan atau tidak menafsirkan tindakan kita.
• Kadang komunikasi sengaja dibuat tidak sengaja. Misalnya ketika kita menguap sebenarnya menguap lebih pada proses fisik yang terjadi tanpa kita inginkan karena kita mengantuk, tetapi misalnya ketika kita sudah bosan berda di kelas dan merasa bahwa materi yang diberikan dosen tidak menarik maka mahaiswa akan sengaja menguap berkali-kali hingga dosen menyadarinya dan segera mengakhiri perkuliahan.
5. Komunikasi terjadi dalam konteks ruang dan waktu.
Makna pesan juga bergantung pada konteks fisik/ruang, waktu, sosial dan psikologis. Makna terhadap pesan yang sama belum tentu sama dalam ruang atau waktu yang berlainan. Tertawa terbahahk-bahak, atau memakai pakaian warna merah sebagai perilaku nonverbal yang tidak menjadi masalah jika kita berada dalam suatu pesta, tetapi akan menjadi sangat tidak pantas apabila kita berada dalam situasi pemakaman. atau Teriak2 dalam mendukung kesebelasan yang sedang bertanding >> sehat. Tapi kalau sedang sendirian dan di jalanan ???

6. Komunikasi melibatkan prediksi peserta komunikasi
Ketika individu berkomunikasi mereka meramalkan efek komunikasi mereka. Dengan kata lain komunikasi juga terikat aturan atau tata krama. Kita dapat memprediksi perilaku komunikasi orang lain berdasarkan peran sosialnya, misalnya kita tahu bagaimana tatakrama dalam berbahasa ketika berbicara dengan orang tua atau dosen kita. Komunikasi terikat oleh aturan atau etika. Prediksi tidak selalu disadari dan sering berlangsung cepat. Hingga derajat tertentu ada keteraturan perilaku manusia sehingga bisa diprediksi.
7. Komunikasi itu bersifat sistemik.
Ada dua sistem dasar dalam transaksi komunikasi :
a. Sistem Internal adalah seluruh sistem nilai yang dibawa oleh seorang individu ketika ia memasuki suatu situasi komunikasi Sistem Internal mengandung semua unsur yang membentuk individu yang unik (kepribadian, intelegensia, pengetahuan, agama, dll) yang pada dasarnya tersembunyi.-frame of reference & field of experience.
b. Sistem Eksternal terdiri dari unsur-unsur dalam lingkungan di luar individu, termasuk kata-kata yang ia pilih untuk berbicara, isyarat fisik peserta komunikasi, kegaduhan di sekiatarnya, penataan ruangan, cahaya dan temperatur ruangan.
8. Semakin mirip latar belakang sosial budaya, semakin efektiflah komunikasi
Komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang hasilnya sesuai dengan harapan para pesertanya (pihak yang melakukan komunikasi). Adanya latar belakang yang sama diantara para pelaku komunikasi membuat suatu situasi komunikasi lebih berpotensi untuk mencapai keefektifan.
• Kenyataannya, tidak pernah ada individu yang sama persis. Bahkan anak yang kembar identik dan dibesarkan di tempat yang sama-pun tidak akan mempunyai state of mind yang sama persis. Namun kesamaan dalam hal-hal tertentu seperti umur, suku, bahasa, tingkat pendidikan akan mendorong suatu proses komunikasi berlangsung lebih efektif.
(video/animasi seorg brgaya einstein berbicara E=mc2 ke seorng yg berdandan petani yg dipikirannya cuman ada sawah&hama)
9. Komunikasi bersifat nonsekuensial.
Kebanyakan situasi komunikasi bersifat dua arah. Meskipun ada model komunikasi linear atau satu arah tetapi pada akhirnya komunikasi tersebut akan bersifat dua arah, karena pada akhirnya suatu situasi komunikasi akan menimbulkan adanya umpan balik. Oleh karena itu peran komunikator dan komunikan dalam suatu percakapan 2 individu atau lebih tidak melekat dan terus berganti. Sehingga sudah tidak bisa dibedakan lagi antara pesan dan umpan balik.
10. Komunikasi bersifat prosesual, dinamis dan transaksional
Suatu proses komunikasi adalah proses yang berkesinambungan, tidak mempunyai awal dan tidak mempunyai akhir.
(video situasi KAP selingkuh karena mabuk atau mabuk karena selingkuh, coba anda identifikasi kapan mulai terjadiny komunikasi ?)
Komunikasi itu melibatkan sebuah proses penyesuaian karena itu komunikasi sifatnya dinamis bukan stabil.
Komunikasi bersifat transaksional karena pada saat hampir bersamaan kita melakukan encoding dan decoding, pada saat hampir bersamaan kita itu mengirim dan menerima pesan.
Implikasi dari komunikasi sebagai proses yang dinamis dan transaksional adalah bahwa para peserta komunikasi berubah (dari sekedar pengetahuan hingga perubahan dalam memandang dunia yang akhirnya mengarah pada perubahan perilaku)
11. Komunikasi bersifat irreversible
Beberapa sistem itu sifatnya dapat ditarik atau diulang kembali, seperti ketika kita mendinginkan air pada suhu tertentu hingga berubah menjadi es lalu kita mengulangnya kembali dengan merubah es kembali menjadi air. Tetapi ada sistem yang sifatnya irreversible prosesnya hanya bergerak menuju satu arah tidak dapat ditarik kembali menuju ke arah sebelumnya, dan komunikasi termasuk sistem ini. Komunikasi adalah suatu proses yang tidak bisa ditarik kembali. Tindakan komunikasi yang telah kita lakukan adalah telah terjadi dan tidak mungkin ditarik kembali. Sekali kita mengirimkan suatu pesan, kita tidak dapat mengendalikan pengaruh pesan tersebut bagi khalayak, apalagi menghilangkan efek pesan tersebut sama sekali. Menurut Devito (1989:25) bahkan karena sifat irreversible-nya kita perlu waktu untuk mempertahankan atau membenarkan perilaku kita yang diterima orang lain secara negatif. Metode paling umum yang kita gunakan untuk menghadapi reaksi negatif dari individu lain terhadap perilaku kita adalah dengan melakukan excuse atau beralasan (berusaha melakukan pembenaran terhadap perilaku yang “sudah” terlanjur kita lakukan dan ternyata mendapat reaksi negatif dari individu lain).
Sifat irreversible ini adalah implikasi dari komunikasi sebagai suatu proses yang selalu berubah. Prinsip ini setidaknya menyadarkan kita bahwa kita harus berhati-hati dalam mengirimkan suatu pesan kepada orang lain karena efeknya tidak bisa ditiadakan sama sekali meskipunkita sudah berusaha meralatnya. To forgive but not to forget kalau kata orang inggris.
12. Komunikasi bukan panasea untuk menyelesaikan berbagai masalah
Banyak persoalan dan konflik antarmanusia disebabkan oleh masalah komunikasi. Namun komunikasi itu sendiri bukanlah obat mujarab (panasea) untuk menyelesaikan persoalan atau konflik itu, karena persoalan atau konflik tersebut mungkin berkaitan dengan masalah struktural. Esensi dari konflik harus tetap dicari dan diselesaikan. Misalnya konflik antara GAM dan pemerintah tidak akan pernah selesai walaupun pemerintah sudah berusaha melakukan komunikasi seefektif mungkin apabila pemerintah tidak memenuhi janjinya untuk mensejahterakan rakyat di daerah tetapi terus menerus hanya mengeruk kekayaan daerah guna memperkaya pusat.

Teori Spiral Keheningan (spiral of silence)

Teori Spiral Keheningan (spiral of silence)

Teori Spiral Keheningan ini dapat diuraikan sebagai berikut: individu memiliki opini tentang berbagai isu. Akan tetapi, ketakutan akan terisolasi menentukan apakah individu itu akan mengekspresikan opini-opininya secara umum. Untuk meminimalkan kemungkinan terisolasi, individu-individu itu mencari dukungan bagi opini mereka dari lingkung¬annya, terutama dari media massa.
Media massa - dengan bias kekiri-kirian mereka - memberikan interpretasi yang salah pada individu-individu itu tentang perbedaan yang sebenarnya dalam opini publik pada berbagai isu. Media mendukung opini-opini kelompok kiri dan biasanya menggambarkan kelompok tersebut dalam posisi yang dominan.
Sebagai akibatnya, individu-individu itu mungkin mengira apa yang sesungguhnya posisi mayoritas sebagai opini suatu kelompok minoritas. Dengan berlalunya waktu, maka lebih banyak orang akan percaya pada opini yang tidak didukung oleh media massa itu, dan mereka tidak lagi mengekspresikan pandangan mereka secara umum karena takut akan terisolasi. Selama waktu tersebut, karena 'mayoritas yang bisu' tetap diam, ide minoritas mendominasi diskusi. Yang terjadi kemudian, apa yang pada mulanya menjadi opini minoritas, di kemudian hari dapat menjadi dominan.
Spiral keheningan mengajak kita kembali kepada teori media massa yang perkasa, yang mempengaruhi hampir setiap orang dengan cara yang sama (Noelle-Meumann, 1973)
Orang-orang yang tidak terpengaruh oleh spiral kebisuan ini ialah orang-orang yang dikenal sebagai avant garde dan hard core. Yang dimaksud dengan avant garde di sini ialah orang-orang yang merasa bahwa posisi mereka akan semakin kuat, sedangkan orang-orang yang termasuk ke dalam kelompok hard core ialah mereka yang selalu menentang, apa pun konsekuensinya (Noelle-Neumann, 1984).
Noelle-Newman (1984) menyatakan bahwa kekuatan media massa diperoleh dari: (1) kehadirannya di mana-mana (ubiquity); (2) pengulangan pesan yang sama dalam suatu waktu (kumulasi); dan (3) konsensus (konsonan) tentang nilai-nilai kiri di antara mereka yang bekerja dalam media massa, yang kemudian direfleksikan dalam isi media massa.
Bukti-bukti yang diungkapkan oleh Noelle-Newmann (1980, 1981) diperoleh dari Jerman Barat, meskipun ia menyatakan bahwa "konsonan" itu iuga berlaku bagi demokrasi parlementer Barat dan sistem media yang dikontrol pemerintah. Tidaklah jelas apakah ia juga akan memperluas teorinya agar mencakup negara-negara yang sedang berkembang. Namun untuk kasus di Indonesia, masa peralihan pemerintahan Megawati ke Susilo Bambang Yudhoyono memiliki sisi-sisi yang cukup relevan dengan asumsi teori ini.
Ada beberapa ketidaksepakatan tentang kelayakan teori dan metodologi karya Noelle-Newmann ini. Pengritik melihat bahwa formulasi teorinya tidak lengkap, dan konsep-konsep utamanya tidak dijelaskan dengan memadai. Di samping itu, spiral kebisuan, sebagai teori opini publik, dikelompokkan bersama perspektifnya yang lain tentang masyarakat dan media massa. Di pihak lain, spiral kebisuan ini memperlakukan opini publik sebagai suatu proses dan bukan sebagai sesuatu yang statis. Perspektif itu juga memperhatikan dinamika produksi media dengan pembentukan opini publik (Glynn dan McLeod, 1985; Katz, 1981; Salmon dan Kline, 1983). Studi yang belum lama ini dilakukan memberi dukungan empirik pada teori spiral kebisuan. Dalam evaluasi masalah-masalah yang dihadapi oleh suatu komunitas di Waukegan, Illinois, Taylor (1982) menemukan bahwa orang-orang yang merasa opininya mendapat dukungan mayoritas akan lebih berani mengungkapkan pendapatnya. Demikian juga dengan orang-orang yang merasa bahwa opininya akan mendapat dukungan di kemudian hari (misalnya kelompok avant garde). Dengan cara yang serupa, Glynn dan McLeod (1985) menemukan bahwa persepsi tentang apa yang dipercayai orang lain akan mempengaruhi ekspresi opini dan pemungutan suara. Mereka juga menemukan bahwa kelompok hard core di antara para pemilih lebih suka mendiskusikan kampanye politik daripada yang lain. Yang dimaksud dengan hard core di sini ialah orang-orang yang secara eksplisit menyukai seorang kandidat setelah melalui beberakali wawancara.
Di samping itu, Glenn dan McLeod (1985) melaporkan juga bahwa responden¬-responden mereka lebih suka melibatkan diri dalam diskusi-diskusi politik dalam suatu pertemuan, jika orang-orang lain yang hadir di situ pandangannya sejalan dengan pandangan mereka.

TEORI KOMUNIKASI MASSA TERHADAP INDIVIDU

TEORI KOMUNIKASI MASSA TERHADAP INDIVIDU
Oleh : Fajar Junaedi S.Sos, M.Si

Teori-teori yang terangkum dalam bagian terdahulu menekankan pada hasil publik dan kebudayaan dari komunikasi massa. Perkembangan kajian teori komunikasi massa lainnya, yang akan dibahas dalam bagian ini menekankan pada pengaruh individual dari komunikasi massa. Pada bagian ini, kita membahas beberapa dari teori tradisi pengaruh-individu dalam studi mengenai komunikasi massa.

Teori Pengaruh Tradisi (The Effect Tradition)
Teori pengaruh komunikasi massa dalam perkembangannya telah mengalami perubahan yang kelihatan berliku-liku dalam abad ini. Dari awalnya, para peneliti percaya pada teori pengaruh komunikasi “peluru ajaib” (bullet theory) Individu-individu dipercaya sebagai dipengaruhi langsung dan secara besar oleh pesan media, karena media dianggap berkuasa dalam membentuk opini publik. Menurut model ini, jika Anda melihat iklan Close Up maka setelah menonton iklan Close Up maka Anda seharusnya mencoba Close Up saat menggosok gigi.
Kemudian pada tahun 50-an, ketika aliran hipotesis dua langkah (two step flow) menjadi populer, media pengaruh dianggap sebagai sesuatu yang memiliki pengaruh yang minimal. Misalnya iklan Close Up dipercaya tidak akan secara langsung mempengaruhi banyak orang-orang untuk mencobanya. Kemudian dalam 1960-an, berkembang wacana baru yang mendukung minimalnya pengaruh media massa, yaitu bahwa pengaruh media massa juga ditengahi oleh variabel lain. Suatu kekuatan dari iklan Close Up secara komersil atau tidak untuk mampu mempengaruhi khalayak agar mengkonsumsinya, tergantung pada variabel lain. Sehingga pada saat itu pengaruh media dianggap terbatas (limited-effects model).

Sekarang setelah riset di tahun 1970-an dan 1980-an, banyak ilmuwan komunikasi sudah kembali ke powerful-effects model, di mana media dianggap memiliki pengaruh yang kuat, terutama media televisi.Ahli komunikasi massa yang sangat mendukung keberadaan teori mengenai pengaruh kuat yang ditimbulkan oleh media massa adalah Noelle-Neumann melalui pandangannya mengenai gelombang kebisuan.

Uses, Gratifications and Depedency
Salah satu dari teori komunikasi massa yang populer dan serimg diguankan sebagai kerangka teori dalam mengkaji realitas komunikasi massa adalah uses and gratifications. Pendekatan uses and gratifications menekankan riset komunikasi massa pada konsumen pesan atau komunikasi dan tidak begitu memperhatikan mengenai pesannya. Kajian yang dilakukan dalam ranah uses and gratifications mencoba untuk menjawab pertanyan : “Mengapa orang menggunakan media dan apa yang mereka gunakan untuk media?” (McQuail, 2002 : 388). Di sini sikap dasarnya diringkas sebagai berikut :

Studi pengaruh yang klasik pada mulanya mempunyai anggapan bahwa konsumen media, bukannya pesan media, sebagai titik awal kajian dalam komunikasi massa. Dalam kajian ini yang diteliti adalah perilaku komunikasi khalayak dalam relasinya dengan pengalaman langsungnya dengan media massa. Khalayak diasumsikan sebagai bagian dari khalayak yang aktif dalam memanfaatkan muatan media, bukannya secara pasif saat mengkonsumsi media massa(Rubin dalam Littlejohn, 1996 : 345).

Di sini khalayak diasumsikan sebagai aktif dan diarahkan oleh tujuan. Anggota khalayak dianggap memiliki tanggung jawab sendiri dalam mengadakan pemilihan terhadap media massa untuk mengetahui kebutuhannya, memenuhi kebutuhannya dan bagaimana cara memenuhinya. Media massa dianggap sebagai hanya sebagai salah satu cara memenuhi kebutuhan individu dan individu boleh memenuhi kebutuhan mereka melalui media massa atau dengan suatu cara lain. Riset yang dilakukan dengan pendekatan ini pertama kali dilakukan pada tahun 1940-an oleh Paul Lazarfeld yang meneliti alasan masyarakat terhadap acara radio berupa opera sabun dan kuis serta alasan mereka membaca berita di surat kabar (McQuail, 2002 : 387). Kebanyakan perempuan yang mendengarkan opera sabun di radio beralasan bahwa dengan mendengarkan opera sabun mereka dapat memperoleh gambaran ibu rumah tangga dan istri yang ideal atau dengan mendengarkan opera sabun mereka merasa dapat melepas segala emosi yang mereka miliki. Sedangkan para pembaca surat kabar beralasan bahwa dengan membeca surat kabar mereka selain mendapat informasi yang berguna, mereka juga mendapatkan rasa aman, saling berbagai informasi dan rutinitas keseharian (McQuail, 2002 : 387).

Riset yang lebih mutakhir dilakukan oleh Dennis McQuail dan kawan-kawan dan mereka menemukan empat tipologi motivasi khalayak yang terangkum dalam skema media – persons interactions sebagai berikut :
Diversion, yaitu melepaskan diri dari rutinitas dan masalah; sarana pelepasan emosi
Personal relationships, yaitu persahabatan; kegunaan sosial
Personal identity, yaitu referensi diri; eksplorasi realitas; penguatan nilai
Surveillance (bentuk-bentuk pencarian informasi) (McQuail, 2002 : 388).
Seperti yang telah kita diskusikan di atas, uses and gratifications merupakan suatu gagasan menarik, tetapi pendekatan ini tidak mampu melakukan eksplorasi terhadap berbagai hal secara lebih mendalam. Untuk itu mari sekarang kita mendiskusikan beberapa perluasan dari pendekatan yang dilakukan dengan teori uses and gratifications.

Teori Pengharapan Nilai (The Expectacy-Value Theory)
Phillip Palmgreen berusaha mengatasi kurangnya unsur kelekatan yang ada di dalam teori uses and gratification dengan menciptakan suatu teori yang disebutnya sebagai expectance-value theory (teori pengharapan nilai).
Dalam kerangka pemikiran teori ini, kepuasan yang Anda cari dari media ditentukan oleh sikap Anda terhadap media --kepercayaan Anda tentang apa yang suatu medium dapat berikan kepada Anda dan evaluasi Anda tentang bahan tersebut. Sebagai contoh, jika Anda percaya bahwa situated comedy (sitcoms), seperti Bajaj Bajuri menyediakan hiburan dan Anda senang dihibur, Anda akan mencari kepuasan terhadap kebutuhan hiburan Anda dengan menyaksikan sitcoms. Jika, pada sisi lain, Anda percaya bahwa sitcoms menyediakan suatu pandangan hidup yang tak realistis dan Anda tidak menyukai hal seperti ini Anda akan menghindari untuk melihatnya.

Teori Ketergantungan (Dependency Theory)
Teori ketergantungan terhadap media mula-mula diutarakan oleh Sandra Ball-Rokeach dan Melvin Defleur. Seperti teori uses and gratifications, pendekatan ini juga menolak asumsi kausal dari awal hipotesis penguatan. Untuk mengatasi kelemahan ini, pengarang ini mengambil suatu pendekatan sistem yang lebih jauh. Di dalam model mereka mereka mengusulkan suatu relasi yang bersifat integral antara pendengar, media. dan sistem sosial yang lebih besar.
Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh teori uses and gratifications, teori ini memprediksikan bahwa khalayak tergantung kepada informasi yang berasal dari media massa dalam rangka memenuhi kebutuhan khalayak bersangkutan serta mencapai tujuan tertentu dari proses konsumsi media massa. Namun perlu digarisbawahi bahwa khalayak tidak memiliki ketergantungan yang sama terhadap semua media. Lalu apa yang sebenarnya melandasi ketergantungan khalayak terhadap media massa ?

Ada dua jawaban mengenai hal ini. Pertama, khalayak akan menjadi lebih tergantung terhadap media yang telah memenuhi berbagai kebutuhan khalayak bersangkutan dibanding pada media yang menyediakan hanya beberapa kebutuhan saja. Jika misalnya, Anda mengikuti perkembangan persaingan antara Manchester United, Arsenal dan Chelsea secara serius, Anda mungkin akan menjadi tergantung pada tayangan langsung Liga Inggris di TV 7. Sedangkan orang lain yang lebih tertarik Liga Spanyol dan tidak tertarik akan Liga Inggris mungkin akan tidak mengetahui bahwa situs TV 7 berkaitan Liga Inggris telah di up date, atau tidak melihat pemberitaan Liga Inggris di Harian Kompas.

Sumber ketergantungan yang kedua adalah kondisi sosial. Model ini menunjukkan sistem media dan institusi sosial itu saling berhubungan dengan khalayak dalam menciptakan kebutuhan dan minat. Pada gilirannya hal ini akan mempengaruhi khalayak untuk memilih berbagai media, sehingga bukan sumber media massa yang menciptakan ketergantungan, melainkan kondisi sosial.
Untuk mengukur efek yang ditimbulkan media massa terhadap khalayak, ada beberapa metode yang dapat digunakan, yaitu riset eksperimen, survey dan riset etnografi.

Riset Eksperimen
Riset eksperimen (experimental research) merupakan pengujian terhadap efek media dibawah kondisi yang dikontrol secara hati-hati. Walaupun penelitian yang menggunakan riset eksperimen tidak mewakili angka statistik secara keseluruhan, namun setidaknya hal ini bisa diantisipasi dengan membagi obyek penelitian ke dalam dua tipe yang berada dalam kondisi yang berbeda.
Riset eksperimen yang paling berpengaruh dilakukan oleh Albert Bandura dan rekan-rekannya di Stanford University pada tahun 1965. Mereka meneliti efek kekerasan yang ditimbulkan oleh tayangan sebuah film pendek terhadap anak-anak. Mereka membagi anak-anak tersebut ke dalam tiga kelompok dan menyediakan boneka Bobo Doll, sebuah boneka yang terbuat dari plastik, di setiap ruangan. Kelompok pertama melihat tayangan yang berisi adegan kekerasan berulang-ulang, kelompok kedua hanya melihat sebentar dan kelompok ketiga tidak melihat sama sekali.
Ternyata setelah menonton, kelompok pertama cenderung lebih agresif dengan melakukan tindakan vandalisme terhadap boneka Bobo Doll dibandingkan dengan kelompok kedua dan ketiga. Hal ini membuktikan bahwa media massa memiliki peran membentuk karakter khalayaknya.
Kelemahan metode ini adalah berkaitan dengan generalisasi dari hasil penelitian, karena sampel yang diteliti sangat sedikit, sehingga sering muncul pertanyaan mengenai tingkat kemampuannya untuk diterapkan dalam kehidupan nyata (generalizability). Kelemahan ini kemudian sering diusahan untuk diminimalisir dengan pembuatan kondisi yang dibuat serupa mungkin dengan keadaan di dunia nyata atau yang biasa dikenal sebagai ecological validity Straubhaar dan Larose, 1997 :415).

Survey
Metode survey sangat populer dewasa ini, terutama kemanfaatannya untuk dimanfaatkan sebagai metode dasar dalam polling mengenai opini publik. Metode survey lebih memiliki kemampuan dalam generalisasi terhadap hasil riset daripada riset eksperimen karena sampelnya yang lebih representatif dari populasi yang lebih besar. Selain itu, survey dapat mengungkap lebih banyak faktor daripada manipulasi eksperimen, seperti larangan untuk menonton tayangan kekerasan seksual di televisi dan faktor agama. Hal ini akan diperjelas dengan contoh berikut.
Seorang peneliti melakukan penelitian mengenai efek menonton tayangan kekerasan seksual terhadap remaja. Yang pertama dilakukannya adalah menentukan sampel, kemudian membuat variabel independen yang berupa terpaan media (seperti, “Berapa kali Anda menonton tayangan kekerasan seksual di televisi dalam minggu kemarin ?”). Kemudian ditanyakan efek media massa yang menjadi variabel dependen, seperti kekerasan seksual yang dilakukan responden. Keduanya kemudian dibuat skala pengukuran yang tepat (ordinal, nominal atau interval). Setelah itu, diukur dengan rumus statistik yang sesuai (Straubhaar dan Larose, 1997 :414).

Riset Ethnografi
Riset etnografi (ethnografic research) mencoba melihat efek media secara lebih alamiah dalam waktu dan tempat tertentu. Metode ini berasal dari antropologi yang melihat media massa dan khalayak secara menyeluruh (holistic), sehingga tentu saja relatif membutuhkan waktu yang lama dalam aplikasi penelitian. Dalam penelitian yang menggunakan metode ini, para peneliti menggunakan teknik observasi, pencatatan dokumen dan wawancara mendalam. Dalam melakukan wawancara mendalam, peneliti harus mampu mengeksplorasi beragam informasi dari responden, tanpa melalui pertanyaan yang sifatnya kaku sebagaimana penelitian survey (Straubhaar dan Larose, 1997 :417). Peneliti hanya memerlukan daftar pertanyaan sebagai acuan dalam wawancara yang dapat dikembangkan secara lentur ketika mengadakan wawancara, sehingga daftar pertanyaan dalam metode ini dinamakan sebagai petunjuk wawancara (interview guide).
Misalnya, peneliti yang melakukan penelitian mengenai efek kehadiran media televisi terhadap kebudayaan penduduk Samin, sebuah sub suku Jawa yang hidup di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur yang selama ini terkenal dengan ketertutupannya dengan dunia luar. Yang dilakukan peneliti adalah mengamati secara seksama bagaimana masyarakat Samin mengkonsumsi televisi. Ikut bersama mereka menonton televisi, untuk mengamati apa saja yang mereka lakukan dan komentari pada saat menonton televisi, kemudian setelah itu mewawancarai mereka secara mendalam mengenai apa yang telah mereka tonton. Setalah itu semuanya dicatat secara lengkap, sehingga hasil dari penelitian ini kemudian akan sangat kaya informasi yang mendalam.

Komunikasi dalam Fenomenologi dan Hermeneutika

Komunikasi dalam Fenomenologi dan Hermeneutika
Oleh : Makyun Subuki

Komunikasi yang akan dikemukakan dalam tulisan ini berkaitan dengan teori-teori tentang pengalaman dan pemahaman. Asumsi inti yang melandasi teori tersebut adalah bahwa manusia secara aktif menginterpretasi pengalaman mereka dengan memberikan makna terhadap apa yang mereka lihat. Interpretasi dikenal juga sebagai verstehen (understanding), istilah dalam bahasa Jerman, yaitu proses pemberian makna aktif terhadap apa yang kita amati.
1. Fenomenologi
Fenomena merupakan penampakan objek, peristiwa, atau kondisi dalam persepsi. Dengan demikian, fenomenologi dapat diartikan sebagai kajian terhadap pengetahuan yang datang melalui kesadaran, yaitu cara kita memahami objek dan peristiwa melalui pengalaman secara sadar. Stanley Deetz mengemukakan secara ringkas tiga dasar asumsi dalam fenomenologi, yaitu (1) pengetahuan adalah kesadaran, maksudnya diperoleh secara sadar; (2) makna sesuatu bagi seseorang selalu terkait dengan hubungan sesuatu itu dengan kehidupan orang tersebut; dan (3) bahasa merupakan kendaraan makna.
Edmund Husserl, yang sering disebut sebagai bapak fenomenologi modern, menganggap bahwa penyingkapan realitas hanya mungkin dilakukan dengan pengalaman langsung yang sadar. Dengan ini, ia percaya bahwa kita dapat mengetahui sesuatu dengan baik melalui cara yang tidak bias dan membedakan manusia sebagai subjek dari benda sebagai objek. Anggapan ini ditolak oleh Merleau-Ponty, salah seorang pengikut Husserl. Menurut Merleau-Ponty, manusia, sebagai subjek yang mengetahui, adalah kesatuan fisik dan mental yang berhubungan dengan dunia di mana ia tinggal, oleh karena itu ia terpengaruh oleh dunianya dan sebaliknya memberikan makna bagi dunianya.
Cara kita memberikan makna bagi pengalaman kita adalah melalui komunikasi, sebab pengetahuan kita terkait dengan bahasa dan komunikasi. Alfred Schutz mengungkap tiga asumsi yang biasa kita buat dalam keseharian kita, yaitu (1) kita berasumsi bahwa realitas bersifat konstan; (2) kita berasumsi bahwa apa yang kita lihat adalah tepat; dan (3) kita berasumsi bahwa kita memiliki kuasa untuk mencapai tujuan kita. Pada kenyataannya, menurut Schutz, dunia kita merupakan dunia yang kita pelajari melalui komunitas kultural, dan hal itu berarti bahwa pengetahuan kita merupakan bagian dari situasi historis yang dikonstruksi secara sosial. Dengan demikian, dapat dipahami pula bahwa generalisasi, yang disebut Schutz tipifikasi (typifications), atau kategori-kategori yang berlaku dalam suatu budaya berbeda dari tipifikasi dalam budaya lainnya. Lebih lanjut, pengetahuan sosial, bagi Schutz, memiliki formula atau resep sosial (social recipes), yaitu tata cara yang dipahami dengan baik oleh masyarakat untuk bertindak sesuai dengan situasi yang menuntutnya.
Tokoh fenomenologi yang paling terkenal saat ini adalah Martin Heidegger, yang mencetuskan fenomenologi hermeneutis atau hermeneutika filosofis. Bagi Heidegger, yang terpenting adalah pengalaman natural terhadap hal yang tak dapat dielakkan. Oleh karena itu, bagi Heidegger, realitas sesuatu tidak diketahui melalui analisis atau reduksi, melainkan melalui pengalaman yang natural, yaitu melalui kegiatan berbahasa sehari-hari.
2. Hermeneutika
Hermeneutika merupakan kajian tentang pemahaman, dan lebih khusus pada interpretasi tindakan dan teks. Hermeneutika modern dipelopori oleh Friedrich Schleiermacher yang menggunakan pendekatan saintifik dalam analisis teks. Usaha Schleiermacher diteruskan oleh Wilhelm Dilthey yang percaya bahwa hermeneutika merupakan kunci untuk ilmu sosial dan kemanusiaan. Namun, ia menolak pendekatan saintifik yang dilakukan Schleiermacher, karena bagi Dilthey dunia manusia bersifat sosial dan historis serta tidak dapat diketahui secara objektif. Dengan ini Dilthey memulai relativisme historis yang umum berlaku dalam khazanah ilmu sosial saat ini.
Berkaitan dengan komunikasi, kita dapat menggunakan dua macam hermeneutika, yaitu hermeneutika sebagai perangkat memahami teks atau hermeneutika teks (text hermeneutics) dan hermeneutika sebagai perangkat memahami kebudayaan hermeneutika sosial atau hermeneutika kultural (social/cultural hermeneutics).
Teks dapat dipahami sebagai setiap artefak yang dapat diteliti dan diinterpretasi. Interpretasi dalam hal ini dipahami sebagai proses berjalan yang bergerak dari yang umum ke yang khusus dan sebaliknya, hal ini dapat disebut lingkaran hermeneutis (hermeneutics circle).
2.1 Paul Ricoeur
Bagi Ricoeur, teks tidak dapat ditafsirkan seperti peristiwa langsung ditafsirkan, sebab teks, termasuk wicara yang direkam, memiliki bentuk permanen yang terlepas dari situasi asli teks tersebut. Dengan kata lain, dengan melepaskan teks dari situasi, yang di sebut pen-jarak-an (distanciation), teks bisa memiliki makna yang berbeda dengan apa yang sebenarnya dikehendaki pengarangnya.
Lingkaran hermeneutis dalam pandangan Ricoeur memiliki dua aspek, yaitu eksplanasi (explanation) yang bersifat empiris dan analitis, yaitu menjelaskan peristiwa berdasarkan pola antarbagian yang terobservasi; dan pemahaman (understanding) yang bersifat sintetis, yaitu menjelaskan peristiwa secara keseluruhan berdasarkan interpretasi. Lebih mudahnya, dalam hermeneutika, menurut Ricoeur, seorang penafsir akan memecah belah teks menjadi bagian-bagian kecil, mencari pola-pola tertentu, dan memulai dari awal lagi untuk menjelaskan maknanya secara keseluruhan. Oleh karena itu, Ricoeur percaya adanya hubungan antara penafsir dan teks. Dalam hubungan ini, dengan keterbukaan penafsir terhadap makna teks (appropriation), teks bukan saja berbicara kepada penafsir, melainkan juga mempengaruhinya.
2.2 Stanley Fish
Menolak pandangan Ricoeur yang berpendapat bahwa makna terletak di dalam teks, Fish beranggapan, melalui reader-response theory, bahwa makna terlaak pada pembaca. Bagi Fish, teks hanya merangsang pembaca untuk melakukan pembacaan aktif, namun pada akhirnya pembacalah yang memberikan makna. Selanjutnya, Fish, dengan mengikuti pendekatan konstruksionisme sosial, mengemukakan bahwa setiap pembaca merupakan anggota dari masyarakat interpretif (interpretive communities), yaitu kelompok-kelompok yang saling berinteraksi, membentuk realitas dan makna secara bersama-sama, dan menggunakannya dalam proses pembacaan mereka. Artinya, menurut Fish, pemberian makna bukanlah perkara individual.
Baik Ricoeur maupun Fish, keduanya sependapat tentang pengabaian makna pengarang, naun Fish menolak distansiasi yang diajukan Ricoeur. Sebab, bagi Fish, pembaca selalu melekatkan makna mereka sendiri ke dalam teks, sehingga distansiasi tidak mungkin ada.
2.3 Hans-Georg Gadamer
Gadamer, yang merupakan murid Heidegger, beranggapan bahwa interpretasi secara natural merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari kita. Hal ini berarti bahwa pengalaman dan dunia merupakan jalinan yang secara virtual merupakan hal yang sama. Yang penting dalam pandangan Gadamer adalah bahwa setiap orang memahami pengalamannya berdasarkan praanggapan yang dibentuk oleh tradisi yang bersifat historis. Oleh karena itu, dalam pandangan Gadamer, kita secara simultan merupakan bagian dari masa lalu, masa kini, dan masa akan datang. Perubahan dalam hal ini dipandang sebagai hasil dari jarak temporal yang terbentuk melalui waktu yang mmpengaruhi kita cara mengantisipasi masa mendatang. Dengan demikian, pemahaman kita terhadap peristiwa dan objek sejarah diperkaya oleh jarak hisroris. Lebih jelasnya, pemaknaan teks, dalam pandangan Gadamer, merupakan hasil dialog dari makna yang kita miliki saat ini dan makna yang terdapat dalam teks secara historis. Proses interpretif tersebut bersifat paradoks, sebab di samping kita membiarkan teks berbicara, kita tidak dapat memahami teks terpisah dari prasangka dan praanggapan yang kita miliki.
Seperti Heidegger, Gadamer percaya bahwa pengalaman kita secara inheren terdapat dalam bahasa. Sebab perspektif tradisi yang kita gunakan untuk memahami dunia terdapat dalam kata-kata. Oleh karena itu, Gadamer berpendapat bahwa bahasalah yang menyediakan cara kita memahami pengalaman kita. Dengan kata lain, dalam komunikasi, hubungan terjadi bukan semata-mata interaksi antarpersonal, melainkan hubungan triadik, yaitu hubungan interaksi antarpersonal dan bahasa. Dengan cara ini, Gadamer menganggap bahwa fenomenologi dan hermeneutika merupakan proses yang tidak dapat dipisahkan.
3. Interpretasi Kebudayaan
Istilah lain bagi interpretasi kebudayaan adalah etnografi (etnography). Clifford Geertz menyebut interpretasi kebudayaan sebagai thick description, yaitu interpretasi kebudayaan dari sudut pelaku asli budayanya, dan membedakannya dari thin description, yaitu upaya interpretasi kebudayaan yang semata-mata mendeskripsikan pola tingkah laku berdasarkan sudut pandang yang hanya sedikit memiliki kesamaan dengan pelaku asli budayanya. Seperti seluruh jenis hermeneutika, Geertz juga membahas tentang lingkaran hermeneutis. Dalam pandangannya, interpretasi terkait dengan lingkaran hermeneutis yang mencakup pergerakan dari experience-near concept, yaitu makna budaya seperti dialami oleh pelaku aslinya menuju experience-distant concept, yaitu makna budaya bagi orang luar, dan sebaliknya.
Lebih jauh, Donald Carbaugh dan Sally Hasting menyebut empat proses yang terjadi dalam etnografi, meliputi: pertama, mengembangkan dasar orientasi terhadap budaya dan manifestasi budaya yang akan diteliti; kedua, mendefinisikan kategori aktivitas yang akan diteliti; ketiga, merancang teori yang bersifat spesifik demi kepentingan penelitian; dan keempat, mengaplikasikan teori dan, selanjutnya, mengujinya pada kasus tertentu.
3.1 Etnografi Komunikasi
Etnografi komunikasi pada dasarnya adalah aplikasi metode etnografis pada pola komunikasi kelompok tertentu. Gerry Phlipsen menyebut empat asumsi yang terdapat dalam etnografi komunikasi, yaitu: pertama, seluruh partisipan dalam masyarakat budaya tertentu turut menciptakan makan yang dimiliki bersama; kedua, setiap peserta komunikasi dalam kelompok budaya harus mengkoordiansikan tindakan mereka; ketiga, makna dan tindakan bersifat khas bagi masing-masing kebudayaan; dan keempat, selain makna, cara memahami kode dan tindakan dalam setiap budaya bisa jadi berbeda.
Menurut Hymes linguistik formal tidak akan mampu memahami bahasa secara utuh, sebab ia mengabaikan kenyataan bahasa dalam penggunaannya sehari-hari. Ia selanjutnya menyebut sembilan kategori yang dapat digunakan untuk membandingkan perbedaan antarbudaya, yaitu: (1) cara bertutur (ways of speaking) atau pola komunikasi; (2) kefasihan ideal penutur (ideal of the fluent speaker); (3) komunitas wicara (speech community); (4) situasi wicara (speech situation); (5) tindak tutur (speech act); (6) komponen tindak tutur; (7) peristiwa wicara (speech event); (8) kaidah bertutur dalam komunitas; dan (9) fungsi wicara dalam komunitas.
Berdasarkan pendapat Carbaugh, etnografi komunikasi setidaknya mengkaji tiga masalah, yaitu pertama, mengungkap identitas bersama (shared identity) komunitas yang tercipta melalui komunikasi; kedua, mengungkap makna bersama (shared meaning) bagi prestasi publik yang terlihat dalam kelompok; dan ketiga, mengeksplorasi kotradiksi dalam kelompok.
Untuk dapat sampai pada hal tersebut, terdapat tiga masalah yang harus dijelaskan terlebih dulu, yaitu pertama, masalah norma (questions of norms), berkaitan dengan cara komunikasi digunakan dalam memapankan aturan-aturan dan dengan cara kategori baik-buruk mempengaruhi proses komunikasi; kedua, persoalan bentuk (questions of forms), berkaitan dengan jenis-jenis komunikasi yang digunakan dalam masyarakat; dan ketiga, persoalan kode budaya (question of cultural codes), berkaitan dengan makna simbol dan tingkah laku yang digunakan dalam komunikasi dalam komunitas.
Berkenaan dengan kode, Philipsen menyebut beberapa klaim tentang hal yang disebutnya kode wicara (speech code), yaitu (1) kode bersifat distingtif; (2) kode wicara mengkonstitusi makna distingtif bagi cara bersikap sebagai pribadi, cara bergaul dengan orang lain, dan cara berkomunikasi; (3) kode membimbing para peserta komunikasi untuk mengalami secara sadar saat berinteraksi; (4) kode wicara tercakup dalam peristiwa wicara sehari-hari; dan (5) kode wicara memiliki kuasa yang dasar evaluasi dan pengarahan komunikasi oleh budaya.
3.2 Performance Etnography
Tampilan budaya (cultural performance) mencakup juga manipulasi media yang dapat dialami oleh indera. Tampilan publik dalam kebudayaan laksana drama sosial yang di dalamnya terdapat hubungan dan ide-ide yang bekerja. Seperti halnya drama yang memiliki batas-batas, makna merupakan batas atau pintu yang menghubungkan satu hal dan keadaan kepada hal dan keadaan lainnya. Menurut Victor Turner sebuah drama sosial biasanya mengalami proses tertentu, meliputi pertama, pelanggaran (breach), yaitu kekerasan atau serangan terhadap tatanan komunitas; kedua, krisis, yang digerakkan oleh pelanggaran; ketiga, proses perbaikan (redressive procedures); dan keempat, reintegrasi (reintegration).
Etnografi tampilan budaya ini dan mengatasi pendapat tradisional tentang bahasa dan memperluasnya hingga pada level penerapan (embodied practice). Bidang ini sangat berguna bagi bidang komunikasi, sebab komunikasi sering kali dipahami sebagai tampilan.
3.3 Kebudayaan dalam Organisasi
Organisasi, yang dapat dilihat sebagai cara hidup anggotanya, menciptakan juga realitas yang dimiliki bersama yang berbeda dari kebudayaan lain melalui interaksi para anggotanya. Sebab, tindakan yang mengarah pada tujuan (task-oriented action) tidak dipahami langsung secara objektif, melainkan melalui penguatan cara-cara tertentu yang secara sadar diperoleh dengan memahami pengalaman.
Pacanowsky dan O'Donnell Trujilo menyebuit empat ciri tampilan komunikasi, yaitu pertama, bersifat interaksional; kedua, bersifat kontekstual; ketiga, terdiri atas episode-episode; dan keempat, selalu berkembang. Selanjutnya, mereka menyebut tampilan komunikasi dalam organisasi, yaitu pertama, ritual, terulang secara reguler, meliputi personal ritual, task ritual, social ritual, dan organizational ritual; (2) gairah (passion), tampilan yang menjadikan ritula menjadi menarik dan menggairahkan, terdiri atas storytelling, yaitu penderiataan aktivitas yang berualng-ulang, dan passionate repartee, yaitu interaksi dramatis dengan penggunaan bahasa yang hidup; (3) sosialitas (sociality), yaitu hal yang membuat aturan sosial dapat bekerja; (4) politik organisasi (organizational politics), yaitu tampilan yang menciptakan kuasa dan pengaruh; dan (5) enkulturasi (enculturation), proses pengajaran budaya oeh anggota organisasi.
3.4 Kajian Media Interpretif
James Lull menyebut bidang ini dengan nama etnografi komunikasi masa (etnography of mass communication). Dalam kajian media tradisional, media dianggap sebagai saluran (channel) yang digunakan untuk mengirim informasi kepada audiens. Saat ini, pendekatan yang lazim dalam memahami media adalah memahami bahwa audiens adalah masyarakan interpretif yang memberi makna tersendiri bagi apa yang mereka lihat, dengar, dan saksikan. Mengikuti pendapat Fish, sebauah masyarakat interpretif ini akan mengembangkan sendiri pola konsumsinya, yaitu pemahaman umum tentang isi dari apa yang mereka lihat, dengar, baca, dan saksikan yang membentuk hasil yang juga dimiliki bersama. Thomas Lindolf lebih jauh melihat tiga dimensi, yang disebutnya genre, komunitas interpretif, yaitu pertama, isi (content), program ataupun media lain yang dikonsumsi oleh sebuah komunitas; kedua, interpretasi, yaitu pemaknaan bersama; dan ketiga, tindakan sosial (sacial action), yaitu tingkah laku yang merupakan akibat dari pemahaman terhadap media.
Diringkas dari
Littlejohn, Stephen W,. 2002. Theories of Human Communication (edisi ketujuh). Belmont: Thomson Learning. Hal. 184-202

Jumat, 23 Mei 2008

Teori Interaksionisme Simbolik

Teori Interaksionisme Simbolik
December 12, 2007
Oleh Prof Dr. Riyadi Soeprapto, MS (Alm).

Inti pandangan pendekatan ini adalah individu. Para ahli di belakang perspektif ini mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling penting dalam konsep sosiologi. Mereka melihat bahwa individu adalah obyek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain.
Dalam perspektif ini dikenal nama sosiolog George Herbert Mead (1863–1931), Charles Horton Cooley (1846–1929), yang memusatkan perhatiannya pada interaksi antara individu dan kelompok. Mereka menemukan bahwa individu-individu tersebut berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol, yang di dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata. Sosiolog interaksionisme simbolik kontemporer lainnya adalah Herbert Blumer (1962) dan Erving Goffman (1959).
Seperti yang dikatakan Francis Abraham dalam Modern Sociological Theory (1982)[1], bahwa interaksionisme simbolik pada hakikatnya merupakan sebuah perspektif yang bersifat sosial-psikologis yang terutama relevan untuk penyelidikan sosiologis. Teori ini akan berurusan dengan struktur-struktur sosial, bentuk-bentuk kongkret dari perilaku individual atau sifat-sifat batin yang bersifat dugaan, interaksionisme simbolik memfokuskan diri pada hakekat interaksi, pada pola-pola dinamis dari tindakan sosial dan hubungan sosial. Interaksi sendiri dianggap sebagai unit analisis: sementara sikap-sikap diletakkan menjadi latar belakang. Baik manusia dan struktur sosial dikonseptualisasikan secara lebih kompleks, lebih tak terduga, dan aktif jika dibandingkan dengan perspektif-perspektif sosiologis yang konvensional.
Di sisi ini masyarakat tersusun dari individu-individu yang berinteraksi yang tidak hanya bereaksi, namun juga menangkap, menginterpretasi, bertindak, dan mencipta. Individu bukanlah sekelompok sifat, namun merupakan seorang aktor yang dinamis dan berubah, yang selalu berada dalam proses menjadi dan tak pernah selesai terbentuk sepenuhnya. Masyarakat bukanlah sesuatu yang statis “di luar sana” yang selalu mempengaruhi dan membentuk diri kita, namun pada hakekatnya merupakan sebuah proses interaksi. Individu bukan hanya memiliki pikiran (mind), namun juga diri (self) yang bukan sebuah entitas psikologis, namun sebuah aspek dari proses sosial yang muncul dalam proses pengalaman dan aktivitas sosial. Selain itu, keseluruhan proses interaksi tersebut bersifat simbolik, di mana makna-makna dibentuk oleh akal budi manusia. Makna-makna itu kita bagi bersama yang lain, definisi kita mengenai dunia sosial dan persepsi kita mengenai, dan respon kita terhadap, realitas muncul dalam proses interaksi.[2] Herbert Blumer, sebagaimana dikutip oleh Abraham (1982)[3] salah satu arsitek utama dari interaksionisme simbolik menyatakan: Istilah ‘interaksi simbolik’ tentu saja menunjuk pada sifat khusus dan khas dari interaksi yang berlangsung antar manusia. Kekhususan itu terutama dalam fakta bahwa manusia menginterpretasikan atau ‘mendefinsikan’ tindakan satu sama lain dan tidak semata-mata bereaksi atas tindakan satu sama lain. Jadi, interaksi manusia dimediasi oleh penggunaan simbol-simbol, oleh interpretasi, atau oleh penetapan makna dari tindakan orang lain.
Mediasi ini ekuivalen dengan pelibatan proses interpretasi antara stimulus dan respon dalam kasus perilaku manusia.Pendekatan interaksionisme simbolik memberikan banyak penekanan pada individu yang aktif dan kreatif ketimbang pendekatan-pendekatan teoritis lainnya. Pendekatan interaksionisme simbolik berkembang dari sebuah perhatian ke arah dengan bahasa; namun Mead mengembangkan hal itu dalam arah yang berbeda dan cukup unik. Pendekatan interaksionisme simbolik menganggap bahwa segala sesuatu tersebut adalah virtual. Semua interaksi antarindividu manusia melibatkan suatu pertukaran simbol. Ketika kita berinteraksi dengan yang lainnya, kita secara konstan mencari “petunjuk” mengenai tipe perilaku apakah yang cocok dalam konteks itu dan mengenai bagaimana menginterpretasikan apa yang dimaksudkan oleh orang lain.
Interaksionisme simbolik mengarahkan perhatian kita pada interaksi antarindividu, dan bagaimana hal ini bisa dipergunakan untuk mengerti apa yang orang lain katakan dan lakukan kepada kita sebagai individu.[4] Gagasan Teori Interaksionisme SimbolikIstilah paham interaksi menjadi sebuah label untuk sebuah pendekatan yang relatif khusus pada ilmu dari kehidupan kelompok manusia dan tingkah laku manusia. Banyak ilmuwan yang telah menggunakan pendekatan tersebut dan memberikan kontribusi intelektualnya, di antaranya George Herbert Mead, John Dewey, W.I Thomas, Robert E.Park, William James, Charles Horton Cooley, Florian Znaniceki, James Mark Baldwin, Robert Redfield dan Louis Wirth. Teori interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the self) dan dunia luarnya. Di sini Cooley menyebutnya sebagai looking glass self. Dengan mengetahui interaksionisme simbolik sebagai teori maka kita akan bisa memahami fenomena sosial lebih luas melalui pencermatan individu. Ada tiga premis utama dalam teori interaksionisme simbolis ini, yakni manusia bertindak berdasarkan makna-makna; makna tersebut didapatkan dari interaksi dengan orang lain; makna tersebut berkembang dan disempurnakan saat interaksi tersebut berlangsung.Menurut KJ Veeger[5] yang mengutip pendapat Herbert Blumer, teori interaksionisme simbolik memiliki beberapa gagasan. Di antaranya adalah mengenai Konsep Diri. Di sini dikatakan bahwa manusia bukanlah satu-satunya yang bergerak di bawah pengaruh perangsang entah dari luar atau dalam melainkan dari organisme yang sadar akan dirinya (an organism having self). Kemudian gagasan Konsep Perbuatan di mana perbuatan manusia dibentuk dalam dan melalui proses interaksi dengan dirinya sendiri. Dan perbuatan ini sama sekali berlainan dengan perbuatan-perbuatan lain yang bukan makhluk manusia. Kemudian Konsep Obyek di mana manusia diniscayakan hidup di tengah-tengah obyek yang ada, yakni manusia-manusia lainnya. Selanjutnya Konsep Interaksi Sosial di mana di sini proses pengambilan peran sangatlah penting.
Yang terakhir adalah Konsep Joint Action di mana di sini aksi kolektif yang lahir atas perbuatan-perbuatan masing-masing individu yang disesuaikan satu sama lain.Menurut Soeprapto (2001),[6] hanya sedikit ahli yang menilai bahwa ada yang salah dalam dasar pemikiran yang pertama. “Arti” (mean) dianggap sudah semestinya begitu, sehingga tersisih dan dianggap tidak penting. “Arti” dianggap sebagai sebuah interaksi netral antara faktor-faktor yang bertanggungjawab pada tingkah laku manusia, sedangkan ‘tingkah laku’ adalah hasil dari beberapa faktor. Kita bisa melihatnya dalam ilmu psikologi sosial saat ini. Posisi teori interaksionisme simbolis adalah sebaliknya, bahwa arti yang dimiliki benda-benda untuk manusia adalah berpusat dalam kebenaran manusia itu sendiri. Dari sini kita bisa membedakan teori interaksionisme simbolis dengan teori-teori lainnya, yakni secara jelas melihat arti dasar pemikiran kedua yang mengacu pada sumber dari arti tersebut.
Teori interaksionisme simbolis memandang bahwa “arti” muncul dari proses interaksi sosial yang telah dilakukan. Arti dari sebuah benda untuk seseorang tumbuh dari cara-cara di mana orang lain bersikap terhadap orang tersebut. Sehingga interaksi simbolis memandang “arti” sebagai produk sosial; Sebagai kreasi-kreasi yang terbentuk melalui aktifitas yang terdefinisi dari individu saat mereka berinteraksi. Pandangan ini meletakkan teori interaksionisme simbolis pada posisi yang sangat jelas, dengan implikasi yang cukup dalam. Tokoh-tokoh Teori Interaksionisme SimbolikMengikuti penjelasan Abraham (1982)[7], Charles Horton Cooley adalah tokoh yang amat penting dalam teori ini. Pemikiran sosial Cooley terdiri atas dua asumsi yang mendalam dan abadi mengenai hakikat dari kehidupan sosial, yaitu bahwa kehidupan sosial secara fundamental merupakan sebuah evolusi organik, dan bahwa masyarakat itu secara ideal bersifat demokratis, moral, dan progresif. Konsep evolusi organik-nya Cooley berbeda secara hakiki dari konsepnya Spencer dan para ilmuwan sosial abad kesembilanbelas. Sementara para pemikir yang lebih awal memusatkan diri pada aspek-aspek kolektif yang berskala-besar dari pembangunan, dari perjuangan kelas, dari lembaga sosial dan sebagainya, di sini Cooley berusaha mendapatkan sebuah pemehaman yang lebih mendalam mengenai individu namun bukan sebagai entitas yang terpisah dari masyarakat, namun sebagai sebuah bagian psiko-sosial dan historis dari bahan-bahan penyusun masyarakat.
“Kehidupan kita adalah satu satu kehidupan manusia secara keseluruhan,” kata Cooley, “dan jika kita ingin memiliki pengetahuan yang riil atas diri individu, maka kita harus memandang individu secara demikian. Jika kita melihatnya secara terpisah, maka proses pengetahuan kita atas diri individu akan gagal.”Jadi, evolusi organik adalah interplay yang kreatif baik individu maupun masyarakat sebagai dua wujud dari satu fenomena yang sama, yang saling menegaskan dan beriringan meski tetap masih bisa dibedakan. ”Masyarakat adalah sebuah proses saling berjalinnya dan saling bekerjanya diri-diri yang bersifat mental (mental selves). Saya membayangkan apa yang Anda pikirkan, terutama mengenai apa yang Anda pikirkan tentang apa yang saya pikirkan, terutama mengenai apa yang saya pikirkan tentang apa yang Anda pikirkan.”Jadi, menurut Cooley, tugas fundamental dari sosiologi ialah untuk memahami sifat organis dari masyarakat sebagaimana dia berlangsung melalui persepsi-persepsi individual dari orang lain dan dari diri mereka sendiri. Jika sosiologi hendak memahami masyarakat, dia harus mengkonsentrasikan perhatiannya pada aktivitas-aktivitas mental dari individu-individu yang menyusun masyarakat tersebut. “Imajinasi yang saling dimiliki oleh orang-orang merupakan fakta-fakta yang solid dari masyarakat… Masyarakat adalah sebuah relasi di antara ide-ide yang bersifat personal.”Dalam konsep The Looking-Glass Self (Diri Yang Seperti Cermin Pantul), menurut Cooley, institusi-institusi sosial yang utama ialah bahasa, keluarga, industri, pendidikan, agama, dan hukum. Sementara institusi-institusi tersebut membentuk ‘fakta-fakta dari masyarakat’ yang bisa dipelajari oleh studi sosiologis, mereka juga merupakan produk-produk yang ditentukan dan dibangun oleh pikiran publik. Menurut Cooley, institusi-institusi tersebut merupakan hasil dari organisasi dan kristalisasi dari pikiran yang membentuk bentuk-bentuk adat-adat kebiasaan, simbol-simbol, kepercayaan-kepercayaan, dan sentimen-sentimen perasaan yang tahan lama.
Oleh karena itu, institusi-institusi tersebut merupakan kreasi-kreasi mental dari individu-individu dan dipelihara melalui kebiasaan-kebiasaan manusiawi dari pikiran yang hampir selalu dilakukan secara tidak sadar karena sifat kedekatannya dengan diri kita (familiarity). Seperti yang ditegaskan oleh Cooley, ketika institusi-institusi masyarakat dipahami terutama sebagai kreasi-kreasi mental, maka individu bukanlah semata-mata ‘efek’ dari struktur sosial, namun juga merupakan seorang kreator dan pemelihara struktur sosial tersebut.Intinya, Cooley mengkonsentrasikan kemampuan-kemampuan analitiknya terhadap perkembangan dari diktum fundamentalnya, yaitu “Imajinasi-imajinasi yang saling dimiliki oleh orang-orang merupakan fakta-fakta yang solid dari masyarakat.” Dalam bukunya yang pertama, Human Nature and the Social Order, dia terfokus pada teori mengenai diri-yang-bersifat-sosial (social-self), yakni makna “Aku” sebagaimana yang teramati dalam pikiran dan perbincangan sehari-hari.Cuplikan dari buku karangan Riyadi Soeprapto. 2001. Interaksionisme Simbolik Perspektif Sosiologi Modern. Yogyakarta: Averroes Press dan Pustaka Pelajar.
TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK
Teori interaksionisme-simbolik dikembangkan oleh kelompok The Chicago School dengan tokoh-tokohnya seperti Goerge H.Mead dan Herbert Blummer.
Awal perkembangan interaksionisme simbolik dapat dibagi menjadi dua aliran / mahzab yaitu aliran / mahzab Chicago, yang dipelopori oleh oleh Herbert Blumer, melanjutkan penelitian yang dilakukan George Herbert Mead. Blumer meyakini bahwa studi manusia tidak bisa diselenggarakan di dalam cara yang sama dari ketika studi tentang benda mati. Peneliti perlu mencoba empati dengan pokok materi, masuk pengalaman nya, dan usaha untuk memahami nilai dari tiap orang. Blumer dan pengikut nya menghindarkan kwantitatif dan pendekatan ilmiah dan menekankan riwayat hidup, autobiografi, studi kasus, buku harian, surat, dan nondirective interviews. Blumer terutama sekali menekankan pentingnya pengamatan peserta di dalam studi komunikasi. Lebih lanjut, tradisi Chicago melihat orang-orang sebagai kreatif, inovatif, dalam situasi yang tak dapat diramalkan. masyarakat dan diri dipandang sebagai proses, yang bukan struktur untuk membekukan proses adalah untuk menghilangkan inti sari hubungan sosial.[1]

Menurut H. Blumer teori ini berpijak pada premis bahwa (1) manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang ada pada “sesuatu” itu bagi mereka, (2) makna tersebut berasal atau muncul dari “interaksi sosial seseorang dengan orang lain”, dan (3) makna tersebut disempurnakan melalui proses penafsiran pada saat “proses interaksi sosial” berlangsung. “Sesuatu” – alih-alih disebut “objek” – ini tidak mempunyai makna yang intriksik. Sebab, makna yang dikenakan pada sesuatu ini lebih merupakan produk interaksi simbolis.[2]
Bagi H. Blumer, “sesuatu” itu – biasa diistilahkan “realitas sosial” – bisa berupa fenomena alam, fenomena artifisial, tindakan seseorang baik verbal maupun nonverbal, dan apa saja yang patut “dimaknakan”.
Sebagai realitas sosial, hubungan “sesuatu” dan “makna” ini tidak inheren, tetapi volunteristrik. Sebab, kata Blumer sebelum memberikan makna atas sesuatu, terlebih dahulu aktor melakukan serangkaian kegiatan olah mental: memilih, memeriksa, mengelompokkan, membandingkan, memprediksi, dan mentransformasi makna dalam kaitannya dengan situasi, posisi, dan arah tindakannya.
Dengan demikian, pemberian makna ini tidak didasarkan pada makna normatif, yang telah dibakukan sebelumnya, tetapi hasil dari proses olah mental yang terus-menerus disempurnakan seiring dengan fungsi instrumentalnya, yaitu sebagai pengarahan dan pembentukan tindakan dan sikap aktor atas sesuatu tersebut. Dari sini jelas bahwa tindakan manusia tidak disebabkan oleh “kekuatan luar” (sebagaimana yang dimaksudkan kaum fungsionalis struktural), tidak pula disebabkan oleh “kekuatan dalam” (sebagaimana yang dimaksud oleh kaum reduksionis psikologis) tetapi didasarkan pada pemaknaan atas sesuatu yang dihadapinya lewat proses yang oleh Blumer disebut self-indication. [3]
Menurut Blumer proses self-indication adalah proses komunikasi pada diri individu yang dimulai dari mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya makna, dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna tersebut. Dengan demikian, proses self-indication ini terjadi dalam konteks sosial di mana individu mengantisipasi tindakan-tindakan orang lain dan menyesuaikan tindakannya sebagaimana dia memaknakan tindakan itu. [4]
Lebih jauh Blumer dalam buku yang sama di halaman 78 menyatakan bahwa interaksi manusia dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol, oleh penafsiran, dan oleh kepastian makna dari tindakan orang lain, bukan hanya sekedar saling bereaksi sebagaimana model stimulus-respons.
Selain menggunakan Interaksionis Simbolik, kasus Sampit bisa didekati dengan metode Hermeneutik. Hermeneutik dapat didefinisikan sebagai suatu teori atau falsafah yang menginterpretasi makna. Pada dasawarsa ini, Hermeneutik muncul sebagai topik utama dalam falsafah ilmu sosial, seni dan bahasa dan dalam wacana kritikan sastera yang mempamerkan hasil interpretasi teks sastera.
Perkataan Hermeneutik berasal dari dua perkataan Greek: hermeneuein, dalam bentuk kata kerja bermakna ”to interpret” dan hermeneia, dalam bentuk kata nama bermakna ”interpretation”. Kaedah ini mengutamakan penginterpretasian teks dalam konteks sosiobudaya dan sejarah dengan mendedahkan makna yang tersirat dalam sesebuah teks atau karya yang diselidiki. Dokumen awal menjelaskan bahawa seorang ahli falsafah, iaitu Martin Heidegger menggunakan kaedah Hermeneutik pada tahun 1889-1976. Walau bagaimanapun, Hermeneutik telah mula dipelopori oleh Schleimarcher dan Dilthey sejak abad ke-17 dan diteruskan oleh Habermas, Gadamer, Heidegger, Ricoeur dan lain-lain pada abad ke-20.
Menurut Mueller (1997), Hermeneutik adalah seni pemahaman dan bukan sebagai bahan yang telahpun difahami. Hermeneutik juga adalah sebahagian daripada seni pemikiran dan berlatarkan falsafah. Oleh itu, untuk melakukan penginterpretasian terhadap ilmu pengetahuan tentang bahasa, maka adalah penting untuk memahami ilmu pengetahuan individu. Tetapi, pada hakikatnya adalah mustahil untuk menganalisis aspek-aspek psikologi seseorang itu. Kejayaan seni penginterpretasian bergantung kepada kepakaran linguistik dan kebolehan memahami subjek yang dikajinya.
[1] Bisa dibaca lebih jelas pada karya Stephen W. Littlejohn (1995). Theories of Human Communication, 5th Edition. Belmont, Wadsworth Publishing Company
[2] When Mead had to give up his position as a lecturer at the University of Chicago due to illness, Blumer took over and continued his work. In his 1937 article "Social Psychology", Blumer coined the term symbolic interactionism and summarised Mead's ideas into three premises: The way people view objects depends on the meaning these things have for them. This meaning comes about as a result of a process of interaction. The meaning of an object can change over time.
[3] Blumer, 1969, Ibid.hal.81
[4] Herbert Blumer, Symbolic Interaction: Perspective and Method (1969) hal.81

Teori Penentuan Agenda (Agenda Setting Theory)

Teori Penentuan Agenda (Agenda Setting Theory)

Ide dasar pendekatan Agenda Setting seperti yang sering dikemukakan Bernard Cohen (1963) adalah bahwa “pers lebih daripada sekadar pemberi informasi dan opini. Pers mungkin saja kurang berhasil mendorong orang untuk memikirkan sesuatu, tetapi pers sangat berhasil mendorong pembacanya untuk menentukan apa yang perlu dipikirkan”.
Dalam studi pendahuluan tentang Agenda Setting, McCombs dan Shaw (1972) menunjukkan hubungan di antara beberapa surat kabar tertentu dan pembacanya dalam isu-isu yang dianggap penting oleh media dan publik. Jenjang pentingnya isu publik ini disebut sebagai salience. Akan tetapi, studi ini sendiri bukanlah Agenda Setting seperti yang kita maksudkan, karena arah penyebabnya tidaklah jelas. Baik media ataupun publik bisa saja menimbulkan kesepakatan tentang jenjang isu-isu publik.
Selain itu, studi pendahuluan ini masih berupa suatu perbandingan umum, bukan perbandingan individual, seperti yang ditetapkan dalam hipotesis Agenda Setting ini. McCombs dan Shaw (1972) mengakui keterbatasan ini dalam studinya dan mengungkapkan bahwa “penelitian-penelitian lain harus meninggalkan konteks sosial yang umum dan memakai konteks psikologi sosial yang lebih spesifik”. Sayang sekali saran ini tidak sepenuhnya diikuti dalam hampir seluruh penelitian agenda setting yang dilakukan kemudian (Becker, 1982).
Di pihak lain, studi-studi berikutnya tentang Agenda Setting berhasil menetapkan urutan waktu dan arah penyebab. Dalam kondisi tertentu, peneliti menunjukkan bahwa media massa benar-benar dapat menentukan agenda bagi khalayak yang spesifik, paling tidak pada suatu tingkat agregatif (cf. Shaw dan McCombs, 1977).
McLeod et al. (1974) membandingkan agenda pembaca-pembaca sebuah surat kabar dengan pembaca-pembaca surat kabar lain di Madison, Wisconsin. Dari pengamatan ini ia dapat menunjukkan bahwa dalam batas-batas tertentu ada perbedaan di antara keduanya.
Dalam pemberian suara, media ternyata tidak menunjukkan efek pada pemilih muda, yang baru pertama kali memberikan suaranya dan hanya sedikit mempenga¬ruhi pemilih yang lebih tua. Pembagian lebih lanjut kelompok pemilih muda ini menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil menunjukkan bahwa mereka yang memiliki predisposisi partisan akan lebih dipengaruhi oleh agenda media. Akan tetapi, keterbatasan besar yang dihadapi penelitian ini disebabkan oleh liputan isu-isu publik surat kabar-surat kabar itu hampir sama.
Dalam suatu studi yang dilakukan pada orang-orang yang menonton dan tidak menonton perdebatan calon-calon presiden Amerika Serikat pada tahun 1976, peneliti dapat menunjukkan perbedaan dalam penentuan agenda di kalangan segmen-¬segmen khalayak yang spesifik. Di samping itu, ditunjukkan pula bahwa waktu memainkan peranan penting dalam proses tersebut (Becker et al., 1979; McLeod et al., 1979).
Sebagai perbandingan, suatu studi Agenda Setting surat kabar dan televisi di Barquisimeto, Venezuela oleh Chaffee dan Izcaray (1975) menunjukkan tiadanya efek yang diharapkan. Penggunaan media massa oleh responden kedua peneliti ini tidak mengarah pada meningkatnya salience untuk isu-isu yang menerima liputan media yang besar. Di sini tampak bahwa posisi sosial ekonomi responden memainkan peranan dalam menentukan kepentingan relatif beberapa isu publik.
Studi-studi ini menunjukkan bahwa agenda setting oleh media massa dapat terjadi dalam beberapa kondisi. Akan tetapi, kondisi yang berlaku di negara industri dan di negara sedang berkembang mungkin berbeda. Riset tentang agenda setting oleh media di negara-negara Dunia Ketiga masih perlu dilakukan, karena kebanyakan studi tentang agenda setting yang ada telah dilakukan di Eropa dan Amerika Serikat.
Categories:

Syariah Marketing Communication

Syariah Marketing Communication
marketing communication February 18th, 2008

Syariah (baca : syariah Islam) kini bukan lagi sesuatu yang ‘aneh’ di tengah kehidupan masyarakat (tentunya heterogen). Semakin lama, dampaknya semakin dirasakan oleh masyarakat. Meski baru dirasakan dibeberapa bidang tertentu, tetapi tidak menutup kemungkinan bidang-bidang lain pun bermunculan. Salah satunya adalah Marketing Communication (Komunikasi Pemasaran), sebagaimana yang telah diaplikasikan oleh Syafa’at Advertising [www.syafaatadvertising.net] sejak tahun 1997 di Yogyakarta.
Oleh karena Syariah Marketing Communication (MarComm) ini belum begitu populer, tidak jarang saya dan pengelola lainnya mendapatkan pertanyaan, “Apa yang membedakan MarComm syariah dengan yang non-syariah ?”. Maka dalam kesempatan ini, saya mencoba menjelaskannya berdasarkan praktek dan pengalaman yang kami lakukan selama lebih kurang 10 tahunan. Semoga bermanfaat, khususnya bagi Anda yang berminat di dunia ini.
Marketing Communication Dalam Teori
Marketing Communication merupakan kegiatan pemasaran dengan menggunakan teknik-teknik komunikasi yang bertujuan untuk memberikan informasi pada khalayak agar tujuan perusahaan tercapai. [John E. Kennedy, R. Dermawan S. Marketing Communication, Strategi & Taktik, BIP, 2006]
MarComm melintasi dan menggabungkan setidaknya tiga aspek, disiplin ilmu dan profesi. Yakni aspek strategis (corporate), aspek pemasaran (marketing) dan aspek komunikasi (communication), dimana irisan ketiganya menghasilkan komunikasi pemasaran (KomPas), baik pada jenjang strategis maupun fungsional. Dengan integrasi ini diharapkan mampu memberikan impac yang lebih optimal (efektif dan efisien) pada aktivitas pemasaran yang dijalankan oleh sebuah perusahaan.
Syariah Marketing Communication
Langkah-langkah yang dilakukan dalam perancangan MarComm syariah dan non-syariah pada dasarnya sama. Hanya saja ada beberapa perbedaan prinsipil yang membuat keduanya berbeda. Penambahan kata syariah menimbulkan konsekwensi paradigma dan opersional yang agak unik. Berikut diantara keunikan tersebut.
Prinsip Dasar
Terdapat dua point pokok pada aspek ini, yaitu :
1. Secara imani (transendental), aktivitas MarComm harus dilandasi oleh prinsip-prinsip dasar aqidah Islam. Baik sebagai way of life maupun basic of all activities,
2. Secara operasional, syariah menjadi frame of work, yang meliputi amal (perbuatan) maupun interaksinya dengan berbagai benda (alat, media)
Sistem dan Operasional Perusahaan MarComm Syariah
Prinsip dasar diatas mewarnai semua aktivitas MarComm, termasuk di dalamnya sistem dan operasional perusahaan. Misalnya, dalam hal hubungan antara pemilik modal (Rabbul maal) dengan pengelola (Mudhorib), diikat dalam kerjasama yang menggunakan sistem syirkah. Begitu pun dalam hubungan perusahaan dengan para karyawannya, budaya perusahaan, tata pergaulan laki-laki dan perempuan dalam perusahaan, pakaian, yang kesemuanya harus syar’iy.
Segmentasi
Tidak terbatas. Siapapun bisa menjadi segmen pasar. Tidak dibatasi oleh etnis, suku, bangsa, bahkan agama tertentu, sejauh tidak mengerjakan MarKom (Komunikasi Pemasaran) yang bertentangan dengan aqidah dan syariah (baca cakupan kerja).
Target Profit
Bisnis pasti berorientasi pada profit. Demikian pula pada bidang syariah MarComm. Namun yang penting adalah tidak menghalalkan segala cara, sehingga keuntungan yang diperoleh (dalam paradigma Islam) menjadi berkah. Sebuah konsep yang tidak dimiliki oleh sistem non syariah (mis: kapitalis, sosialis).
Cakupan kerja
Pada dasarnya segala bentuk aktivitas MarComm dapat dilakukan selama :
1. Tidak bertentangan dengan aqidah. Misalnya mengkomunikasikan sebuah program, kegiatan atau produk yang berasal dari penganut keyakinan selain Islam, seperti perayaan Natal, Tahun Baru, Valentine days, dan sejenisnya
2. Tidak mengkomunikasikan produk yang jelas diharamkan oleh Islam, seperti iklan minuman keras
3. Tidak menggunakan ikon atau visualisasi yang dilarang syariah, seperti wanita yang memperlihatkan bagian-bagian tubuh pribadinya (aurot)
4. Tidak menggunakan gambar tangan makhluk hidup yang bernyawa, kecuali kartun atau gambar tidak sempurna yang tidak mungkin makhluk itu hidup, foto dan mengambil dari penyedia digital image
5. Tidak ada kebohongan dan kepalsuan dalam melakukan komunikasi pemasaran
Pola kemitraan/ kerjasama yang syar’iy
Bagi perusahaan MarComm syariah, hubungan kerjasama merupakan amanah yang wajib dipenuhi sesuai butir-butir kerjasama yang disepakati oleh kedua belah pihak. Penyimpangan terhadap amanah bukan saja merugikan, tetapi merupakan dosa yang akan mendapatkan sanksi baik di dunia (jika syariat Islam diterapkan) maupun di akhirat nantinya.
Dalam prakteknya, kerjasama dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal sbb :
1. Kerjasama didasarkan pada profesionalitas dan kapabilitas, tanpa dibumbui praktek suap
2. Mendasarkan pada aqad (perjanjian kerjasama) yang jelas dan ada ‘hitam di atas putih’
3. Kedua belah pihak saling ridlo (antarodlin)
Selain hal-hal diatas, proses perancangan komunikasi pemasaran (marketing communication) dilakukan sebagaimana proses perancangan pada umumnya. Ada identifikasi terhadap perusahaan; produk atau jasa yang akan dikomunikasikan, penetapan strategi kreatif, strategi media, tactical, thematic, dan lain sebagainya.
Inilah beberapa hal yang membedakan antara syariah marketing communication dan non syariah. Jika dipraktekkan secara holistik, maka akan membentuk karakter brand sekaligus menjadi nilai (syariah marketing communication value) yang unik yang akan dirasakan (include) dalam program komunikasi pemasaran yang dirancang dan dijalankan. Syariah marketing communication bukan saja akan memberikan benefit kebendaan, tetapi juga emosional dan spiritual benefit (dunia akhirat).

Teori Empat Sistem

Teori Empat Sistem
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

Teori Empat Sistem (bahasa Inggris: Four Systems Theory) adalah salah satu teori komunikasi yang mengkaji hubungan antar manusia melalui hasil dari produksinya dilihat dari kacamata manajemen.
Rensis Linkert dari Universitas Michighan mengembangkan model peniti penyambung (linking pin model) yang menggambarkan struktur organisasi. Menurut Luthans (1973) struktur peniti penyambung ini cenderung menekankan dan memudahkan apa yang seharusnya terjadi dalam struktur klasik yang birokratik. Ciri organisasi berstruktur peniti penyambung adalah lambatnya tindakan kelompok, hal ini harus diimbangi dengan memanfaatkan partisipasi yang positif.
Bila seseorang memperhatikan dan memelihara pekerjanya dengan baik maka operasional organisasi akan membaik.
Fungsi-fungsi manajemen berlangsung dalam empat sistem:
1. Sistem Pertama: Sistem yang penuh tekanan dan otoriter dimana segala sesuatu diperintahkan dengan tangan besi dan tidak memerlukan umpan balik. Atasan tidak memiliki kepercayaan terhadap bawahan dan bawahan tidak memiliki kewenangan untuk mendiskusikan pekerjaannya dengan atasan. Akibat dari konsep ini adalah ketakutan, ancaman dan hukuman jika tidak selesai. Proses komunikasi lebih banyak dari atas kebawah.
2. Sistem Kedua: Sistem yang lebih lunak dan otoriter dimana manajer lebih sensitif terhadap kebutuhan karyawan. Manajemen berkenan untuk percaya pada bawahan dalam hubungan atasan dan bawahan, keputusan ada diatas namun ada kesempatan bagi bawahan untuk turut memberikan masukan atas keputusan itu.
3. Sistem Ketiga: Sistem konsultatif dimana pimpinan mencari masukan dari karyawan. Disini karyawan bebas berhubungan dan berdiskusi dengan atasan dan interaksi antara pimpinan dan karyawan nyata. Keputusan di tangan atasan, namun karyawan memiliki andil dalam keputusan tersebut.
4. Sistem Keempat: Sistem partisipan dimana pekerja berpartisipasi aktif dalam membuat keputusan. Disini manajemen percaya sepenuhnya pada bawahan dan mereka dapat membuat keputusan. Alur informasi keatas, kebawah, dan menyilang. Komunikasi kebawah pada umumnya diterima, jika tidak dapat dipastikan dan diperbolehkan ada diskusi antara karyawan dan manajer. Interaksi dalam sistem terbangun, komunikasi keatas umumnya akurat dan manajer menanggapi umpan balik dengan tulus. Motivasi kerja dikembangkan dengan partisipasi yang kuat dalam pengambilan keputusan, penetapan goal setting (tujuan) dan penilaian .
Teori empat sistem ini menarik karena dengan penekanan pada perencanaan dan pengendalian teori ini menjadi landasan baik untuk teori posisional dan teori hubungan antar pribadi.

KOMUNIKASI BUDAYA

Komunikasi Budaya
Teori komunikasi antarbudaya hendak mengamati fenomena komunikasi orang-orang dendan perbedaan budaya. Itu sebabnya, dari perspektif William B. Gudykunst terdapat lima wilayah yang menjadi objek kajian dalam pembahasan teori komunikasi antarbudaya. Maka untuk memudahkan pembahasan teori komunikasi antarbudaya ini, akan dibahas berdasarkan empat wilayah tersebut.
Wilayah 1 : Theories focusing on effective outcomes
Disini Gudykunst hendak melihat fenomena komunikasi antarbudaya pada efektivitas hasil komunikasi.
Adapun sub-sub teori yang tercakup dalam wilayah ini adalah :
1. Cultural Convergence Theory
Teori ini menggunakan model matematis untuk ’mengukur’ efektivitas komunikasi. Apalagi pada kondisi pelaku-pelaku yang memiliki latar budaya berbeda. Satu pernyataan yang digunakan :
”the laws of thermodynamics predict that all participants in a closed system will converge over time on the mean collective pattern of thought if communication is allowed to continue indefinitely”.
Dari pernyataan tersebut diturunkanlah dua asumsi :
? Dalam sebuah sistem sosial tertutup (closed social system), dimana komunikasi antar anggotanya tidak terbatas, sistem secara keseluruhan akan cenderung untuk berkonvergen dari waktu ke waktu untuk membentuk keseragaman dalam budaya.
? Sebaliknya, sistem akan cenderung divergen manakala komunikasi antar anggotanya terbatas.
2. Anxiety/uncertainty Management Theory
Gagasan awal dari teori ini adalah Uncertainty Reduction Theory, yaitu teori yang berasumsi bahwa dalam proses komunikasi, semakin tinggi ketidakpastian seseorang maka akan semakin rendah keberhasilan komunikasi yang hendak dilakukannya. Dengan bahasa yang lain, proses komunikasi dilakukan untuk mengurangi ketidakpastian sehingga tujuan komunikasi tercapai.
Gudykunst menggunakan konsep ’uncertainty’ untuk memprediksi perilaku orang lain dan konsep ’anxiety’ untuk menjelaskan proses penyesuaian budaya. Teori ini digunakan untuk menjelaskan efektivitas komunikasi antarpersonal maupun komunikasi antarkelompok.
3. Effective Group Decision Making
Gudykunst mengungkapkan bahwa untuk mencapai komunikasi yang efektif, dia membagi ranah proses komunikasi menjadi dua yaitu basic dan superficial. Dari kedua ranah tersebut kemudian dimediasi oleh anxiety and uncertainty management (pengelolaan kecemasan dan ketidakpastian).
Sebenarnya untuk lebih jelas memahami teori ini, dapat dilihat pada gambar 10.1 yang ada pada halaman 186 pada buku ‘Handbook of International and Intercultural Communication’, 2nd edition.
Karena komunikasi antarbudaya juga mencakup kajian tentang komunikasi antarkelompok, maka bagaimana kelompok membahas sesuatu atau memutuskan sesuatu untuk kepentingan anggotanya juga menjadi fokus bahasan dalam teori ini. Sebab terdapat keyakinan bahwa bagaimana individu berkomunikasi dipengaruhi bagaimana kelompoknya (ingroup) mempersepsi sesuatu.
Lebih jauh, teori ini akan melihat bagaimana mengatasi konflik dan bernegosiasi.

Wilayah 2 : Theories Focusing on Accomodation or Adaptation
Tujuan yang lain dari teori komunikasi antarbudaya adalah melihat bagaimana pelaku-pelaku komunikasi beradaptasi satu dengan lainnya. Ada tiga teori yang termasuk didalamnya :
1. Communication Accomodation
CAT berawal dari asumsi SAT (speech accommodation theory), yang menyatakan bahwa masing-masing pembicara (pelaku komunikasi)menggunakan strategi linguistik untuk untuk memperoleh kesepemahaman atau menunjukkan pertentangan dalam interaksi yang dilakukan. Strategi komunikator tersebut berdasarkan pada motivasi ‘speech convergence’ atau ‘speech divergence’, yang kemudian disebut ‘linguistic moves’ untuk meningkatkan atau menurunkan jarak komunikasi.
Ada empat komponen dalam teori ini :
a. Sociohistorical Context
Komponen ini mencakup relasi diantara kelompok-kelompok yang mengadakan interaksi dan cultural variability (ada dalam pembahasan cross-cultutal communication) diantaranya.
b. Accomodative Orientation
Komponen ini mencakup adaptasi antara anggota kelompok dengan orang dari kelompok lain, baik dalam konteks komunikasi antarpersonal maupun antara ingroup dengan outgroup. Intinya adalah bagaimana individu akan beradaptasi dengan individu yang berasal dari kelompok berbeda. Aspek-aspek yang tercakup dalam orientasi ini adalah :
(i) Faktor intrapersonal
(ii) Faktor intergroup
(iii) Orientasi inisial (potensi terhadap konflik, motivasi terhadap individu outgroup)
c. Immediate Situation
Terdapat lima aspek :
(i) Keadaan psikologisosial
(ii) Goals and addressee focus (motivasi terhadap interaksi, kebutuhan percakapan dengan outgroup, kebutuhan menjalin relasi)
(iii) Strategi sosiolinguistik
(iv) Perilaku dan taktik (bahasa, aksen, pemilihan topik)
(v) Labeling dan atribusi
d. Evaluation and Future Intentions
Konsep ini memfokuskan pada persepsi komunikator terhadap persepsi lawan bicaranya, dengan berdasar pada ‘benevolent intent’.
2. Intercultural Adaptation Theory
Konsep ini meyakini bahwa untuk menjelaskan komunikasi antarbudaya butuh untuk memulai dari komunikasi antarpersonal dan faktor-faktor budaya yang terkait (mungkin maksudnya cultural variability dari teori cross-cultural communication). Teori ini kemudian hendak menjelaskan bagaimana adaptasi antarbudaya dilakukan oleh masing-masing pelaku dengan prinsip ‘purposed-related encounters’.
Proposisi-proposisi yang diajukan adalah :
? Fungsi komunikasi adaptif
? Kesetaraan dalam komunikasi
? Komunikasi adaptif yang tidak berfungsi akan mengarah pada menguatnya rasa perbedaan budaya
? Kegagalan adaptasi juga akan memunculkan kegagalan menjalankan misi komunikasi
? Strategi persuasi dibutuhkan untuk membentuk komunikasi adaptif
? Situasi yang mengarah pada dominasi satu pihak atas pihak lain akan memunculkan beban dalam adaptasi
? Semakin tinggi perilaku adaptasi budaya yang dilakukan komunikator dalam berkomunikasi, maka kepercayaan atas budayanya sendiri (ingroup) akan semakin memudar
3. Co-cultural Theory
Konsep ini hendak menjelaskan adanya kleompok-kelompok budaya yang ‘bisu’, karena mereka marjinal atau memiliki karakter bias dari suatu komunitas yang lebih besar. Misalnya saja adalah kelompok-kelompok gay, lesbian, sekte agama, atau kelompok-kelompok subordinate dalam struktur sosial.
Teori ini kemudian hendak menjelaskan bagaimana anggota-anggota kelompok tersebut berkomunikasi dengan outgroupnya. Maka kemudian dirumuskan dua proposisi untuk menjelaskannya :
? Anggota kelompok co-cultural berada dalam posisi marjinal dari kelompok social dominan
? Anggota kelompok co-cultural menggunakan strategi dan gaya komunikasi tertentu untuk meraih keberhasilan ketika harus berkonfrontasi terhadap tekanan struktur dominan.
Terdapat tiga tujuan yang ingin dicapai dalam komunikasi oleh anggota kelompok co-cultural dalam interaksinya dengan anggota kelompok dominan :
Asimilasi, Akomodasi, Separatis
Wilayah 3 : Theories Focusing on Identity Negotiation or Management
Teori ini muncul karena dalam komunikasi antarbudaya negosiasi identitas dalam interaksi antarbudaya merupakan kondisi yang tak terelakkan. Hal ini berangkat dari keyakinan bahwa budaya mempengaruhi pembentukan identitas individu, yang nantinya berpengaruh terhadap interaksi antarindividu. Terdapat tiga teori yang dirumuskan Gudykunst menyangkut masalah pengelolaan identitas individu terkait dengan budaya. Dalam pembahasannya, tiga teori tersebut tampaknya seperti sebuah proses untuk membahas satu persoalan dari sisi-sisi yang berlainan. Tiga teori tersebut adalah :
1. Identity Management
Identity Management Theory berangkat dari kompetensi komunikasi antarpersonal dan kemudian diyakini meluas hingga kompetensi komunikasi antarbudaya. IMT nampak dalam konteks kepentingan self-presentation dan facework (interaksi berhadapan langsung).
Dalam teori ini selanjutnya diungkapkan bahwa individu memiliki multi identitas, namun menurut Cupach & Imahori faktor dominan yang mempengaruhi identitas individu adalah budaya (cultural) dan identitas relasional (relational identities). Budaya memberikan pikiran, ide, cara pandang, sementara identitas relasional memberikan pola interaksi dan posisi sosial yang membentuk bagaimana individu hendak memproyeksikan karakter diirnya berdasarkan pengalamannya dalam menjalin hubungan dengan orang lain.
2. Identity Negotiation
Salah satu kompetensi dalam komunikasi antarbudaya adalah ‘the effective identity negotiation process between two interactants in a novel communication episode’. Dalam berkomunikasi dengan orang dari budaya yang berbeda, keahlian untuk menegosiasi identitas menjadi penting demi tujuan kesepemahaman. Oleh Ting-Toomey, dipaparkan delapan asumsi yang mendasari nilai penting negosiasi identitas tersebut :
a. Everyone has multiple images concerning a sense of self
b. Cultural variability influences the sense of self
c. Self-identification involves security and vulnerability
d. Identity boundary regulation motivates behavior
e. Identity boundary regulation involves a tension between inclusion and differentiation
f. Individuals try to balance self, other, and group memberships
g. Managing the inclusion-differentiation dialectic influences the coherent sense of self
h. A coherent sense of self influences individuals’ communication resourcefulness
3. Cultural Identity
Asumsi-asumsi yang dibangun dalam teori ini :
a. Indviduals ‘negotiate multiple identities in discourse’
b. Intercultural communication occurs ‘by the discursive assumption and avowal of differing cultural identities’.
c. Intercultural communication competence involves managing meanings coherently and engaging in rule following and outcomes that are positive
d. Intercultural communication competence involves negotiating ‘mutual meanings, rules, and positive outcomes’
e. Intercultural communication competence involves validating cultural identities
f. Cultural idenities vary as a function of scope , salience, and intensity
Wilayah 3 : Theories Focusing on Communication Networks
Teori ini berangkat dari asumsi bahwa perilaku individu dipengaruhi oleh relasi atau hubungan dengan individu-individu lain daripada karakter pribadi. Sebab dalam teori network atau jaringan, terdapat keyakinan yang lebih tinggi terhadap posisi dan relasi sosial daripada norma dan kepercayaan yang terinternalisasi diantara individu-individu. Teori ini juga memiliki asumsi bahwa komunikasi antarbudaya juga merupakan serangkaian jaringan antarindividu yang berbeda budaya.
Teori-teori yang tercakup di dalam wilayah ini :
1. Out-group Competency Theory
Teori ini menggunakan personal network untuk menjelaskan outgroup communication competence, sebab personal network menghubungkan antara individu satu dengan individu lainnya. Dimana didalam network tersebut, individu-individu menegosiasikan kesadaran egonya dan juga memahami atribusi yang beragam dari orang lain. Itu sebabnya personal network mempengaruhi bagaimana seseorang memiliki kompetensi dalam berkomunikasi dengan orang-orang yang bukan berasal dari in-groupnya (outgroup).
Teori ini juga hendak menjelaskan bahwa semakin kuat ikatan personal network seseorang, maka akan semakin tinggi pula kemampuannya untuk berkomunikasi dalam outgroup.
Asumsi-asumsi yang dibangun :
a. Dalam sebuah personal networks, adanya anggota yang berasal dari outgroup akan meningkatkan kompetensi komunikasi outgroup
b. Selain penerimaan individu outgroup, menempatkan outgroup dalam posisi penting dalam personal network juga akan meningkatkan kompetensi outgroup
c. Kompetensi komunikasi outgroup tersebut juga dapat ditingkatkan dengan meningkatkan kontak (interaksi) dan ikatan individual/personal diantara individu-individu dari ingroup dan outgroup
2. Intracultural Versus Intercultural Networks Theory
Teori ini didesain untuk menjelaskan perbedaan antara intracultural network dan intercultural network. Sebab terdapat keyakinan bahwa terdapat perbedaan antara perilaku dalam budaya yang sama dengan perilaku pada individu-individu dengan budaya yang berbeda. Terdapat setidaknya lima asumsi yang dapat digunakan untuk menjeaskan teori ini :
Asumsi-asumsi yang dibangun :
a. Intercultural networks tend to be radial and intracultural tends to be interlocking
Maksudnya, dalam intercultural network, jaringan yang terjadi cenderung pada individu dalam ingroup yang tidak terlibat dengan individu outgroup. Sementara dalam intracultural network, individu yang memiliki banyak jaringan dengan individu lain dalam ingroup akan cenderung memiliki jaringan yang lebih besar.
a. Intracultural networks are more dense
b. Intracultural networks are more multiplex
c. Intercultural network ties are more likely to be weak ties than strong ties
d. The roles of liaison and bridge will be more prevalent and more important for networks connectedness in intercultural networks
Maksudnya, intercultural adalah komunikasi yang dialkukan oleh ingroup satu dengan ingroup lainnya. Maka dalam proses komunikasi antarkelompok tersebut, peran-peran liaison dan bridge menjadi dominant. Sedangkan dalam intracultural network, relatif proses yang terjadi adalah ingroup communication.
3. Networks and Acculturation Theory
Asumsi-asumsi yang dibangun :
a. Imigran atau newcomer dalam suatu ingroup yang berbeda akan cenderung menjalin relasi atau link dengan individu-individu yang jelas identitasnya
b. Newcomer akan memiliki pengalaman sosial yang dipengaruhi oleh pengalaman social dari native culture-nya
c. Kemampuan newcomer untuk berakulturasi atau beradaptasi secara budaya dengan native culture juga dipengaruhi oleh kemampuan native culture hidup dalam lingkungan sosial newcomer
d. Manakala imigran terintegrasi dengan native culture, social networknya juga akan berubah
e. Dalam jaringan sosial yang semakin solid (erat), akan menurunkan kemampuan newcomer dalam proses berakulturasi. Sebab keterikatan antarindividu lebih dominan sehingga adaptasi budaya tidak terlalu tampak.