Jumat, 23 Mei 2008

KOMUNIKASI BUDAYA

Komunikasi Budaya
Teori komunikasi antarbudaya hendak mengamati fenomena komunikasi orang-orang dendan perbedaan budaya. Itu sebabnya, dari perspektif William B. Gudykunst terdapat lima wilayah yang menjadi objek kajian dalam pembahasan teori komunikasi antarbudaya. Maka untuk memudahkan pembahasan teori komunikasi antarbudaya ini, akan dibahas berdasarkan empat wilayah tersebut.
Wilayah 1 : Theories focusing on effective outcomes
Disini Gudykunst hendak melihat fenomena komunikasi antarbudaya pada efektivitas hasil komunikasi.
Adapun sub-sub teori yang tercakup dalam wilayah ini adalah :
1. Cultural Convergence Theory
Teori ini menggunakan model matematis untuk ’mengukur’ efektivitas komunikasi. Apalagi pada kondisi pelaku-pelaku yang memiliki latar budaya berbeda. Satu pernyataan yang digunakan :
”the laws of thermodynamics predict that all participants in a closed system will converge over time on the mean collective pattern of thought if communication is allowed to continue indefinitely”.
Dari pernyataan tersebut diturunkanlah dua asumsi :
? Dalam sebuah sistem sosial tertutup (closed social system), dimana komunikasi antar anggotanya tidak terbatas, sistem secara keseluruhan akan cenderung untuk berkonvergen dari waktu ke waktu untuk membentuk keseragaman dalam budaya.
? Sebaliknya, sistem akan cenderung divergen manakala komunikasi antar anggotanya terbatas.
2. Anxiety/uncertainty Management Theory
Gagasan awal dari teori ini adalah Uncertainty Reduction Theory, yaitu teori yang berasumsi bahwa dalam proses komunikasi, semakin tinggi ketidakpastian seseorang maka akan semakin rendah keberhasilan komunikasi yang hendak dilakukannya. Dengan bahasa yang lain, proses komunikasi dilakukan untuk mengurangi ketidakpastian sehingga tujuan komunikasi tercapai.
Gudykunst menggunakan konsep ’uncertainty’ untuk memprediksi perilaku orang lain dan konsep ’anxiety’ untuk menjelaskan proses penyesuaian budaya. Teori ini digunakan untuk menjelaskan efektivitas komunikasi antarpersonal maupun komunikasi antarkelompok.
3. Effective Group Decision Making
Gudykunst mengungkapkan bahwa untuk mencapai komunikasi yang efektif, dia membagi ranah proses komunikasi menjadi dua yaitu basic dan superficial. Dari kedua ranah tersebut kemudian dimediasi oleh anxiety and uncertainty management (pengelolaan kecemasan dan ketidakpastian).
Sebenarnya untuk lebih jelas memahami teori ini, dapat dilihat pada gambar 10.1 yang ada pada halaman 186 pada buku ‘Handbook of International and Intercultural Communication’, 2nd edition.
Karena komunikasi antarbudaya juga mencakup kajian tentang komunikasi antarkelompok, maka bagaimana kelompok membahas sesuatu atau memutuskan sesuatu untuk kepentingan anggotanya juga menjadi fokus bahasan dalam teori ini. Sebab terdapat keyakinan bahwa bagaimana individu berkomunikasi dipengaruhi bagaimana kelompoknya (ingroup) mempersepsi sesuatu.
Lebih jauh, teori ini akan melihat bagaimana mengatasi konflik dan bernegosiasi.

Wilayah 2 : Theories Focusing on Accomodation or Adaptation
Tujuan yang lain dari teori komunikasi antarbudaya adalah melihat bagaimana pelaku-pelaku komunikasi beradaptasi satu dengan lainnya. Ada tiga teori yang termasuk didalamnya :
1. Communication Accomodation
CAT berawal dari asumsi SAT (speech accommodation theory), yang menyatakan bahwa masing-masing pembicara (pelaku komunikasi)menggunakan strategi linguistik untuk untuk memperoleh kesepemahaman atau menunjukkan pertentangan dalam interaksi yang dilakukan. Strategi komunikator tersebut berdasarkan pada motivasi ‘speech convergence’ atau ‘speech divergence’, yang kemudian disebut ‘linguistic moves’ untuk meningkatkan atau menurunkan jarak komunikasi.
Ada empat komponen dalam teori ini :
a. Sociohistorical Context
Komponen ini mencakup relasi diantara kelompok-kelompok yang mengadakan interaksi dan cultural variability (ada dalam pembahasan cross-cultutal communication) diantaranya.
b. Accomodative Orientation
Komponen ini mencakup adaptasi antara anggota kelompok dengan orang dari kelompok lain, baik dalam konteks komunikasi antarpersonal maupun antara ingroup dengan outgroup. Intinya adalah bagaimana individu akan beradaptasi dengan individu yang berasal dari kelompok berbeda. Aspek-aspek yang tercakup dalam orientasi ini adalah :
(i) Faktor intrapersonal
(ii) Faktor intergroup
(iii) Orientasi inisial (potensi terhadap konflik, motivasi terhadap individu outgroup)
c. Immediate Situation
Terdapat lima aspek :
(i) Keadaan psikologisosial
(ii) Goals and addressee focus (motivasi terhadap interaksi, kebutuhan percakapan dengan outgroup, kebutuhan menjalin relasi)
(iii) Strategi sosiolinguistik
(iv) Perilaku dan taktik (bahasa, aksen, pemilihan topik)
(v) Labeling dan atribusi
d. Evaluation and Future Intentions
Konsep ini memfokuskan pada persepsi komunikator terhadap persepsi lawan bicaranya, dengan berdasar pada ‘benevolent intent’.
2. Intercultural Adaptation Theory
Konsep ini meyakini bahwa untuk menjelaskan komunikasi antarbudaya butuh untuk memulai dari komunikasi antarpersonal dan faktor-faktor budaya yang terkait (mungkin maksudnya cultural variability dari teori cross-cultural communication). Teori ini kemudian hendak menjelaskan bagaimana adaptasi antarbudaya dilakukan oleh masing-masing pelaku dengan prinsip ‘purposed-related encounters’.
Proposisi-proposisi yang diajukan adalah :
? Fungsi komunikasi adaptif
? Kesetaraan dalam komunikasi
? Komunikasi adaptif yang tidak berfungsi akan mengarah pada menguatnya rasa perbedaan budaya
? Kegagalan adaptasi juga akan memunculkan kegagalan menjalankan misi komunikasi
? Strategi persuasi dibutuhkan untuk membentuk komunikasi adaptif
? Situasi yang mengarah pada dominasi satu pihak atas pihak lain akan memunculkan beban dalam adaptasi
? Semakin tinggi perilaku adaptasi budaya yang dilakukan komunikator dalam berkomunikasi, maka kepercayaan atas budayanya sendiri (ingroup) akan semakin memudar
3. Co-cultural Theory
Konsep ini hendak menjelaskan adanya kleompok-kelompok budaya yang ‘bisu’, karena mereka marjinal atau memiliki karakter bias dari suatu komunitas yang lebih besar. Misalnya saja adalah kelompok-kelompok gay, lesbian, sekte agama, atau kelompok-kelompok subordinate dalam struktur sosial.
Teori ini kemudian hendak menjelaskan bagaimana anggota-anggota kelompok tersebut berkomunikasi dengan outgroupnya. Maka kemudian dirumuskan dua proposisi untuk menjelaskannya :
? Anggota kelompok co-cultural berada dalam posisi marjinal dari kelompok social dominan
? Anggota kelompok co-cultural menggunakan strategi dan gaya komunikasi tertentu untuk meraih keberhasilan ketika harus berkonfrontasi terhadap tekanan struktur dominan.
Terdapat tiga tujuan yang ingin dicapai dalam komunikasi oleh anggota kelompok co-cultural dalam interaksinya dengan anggota kelompok dominan :
Asimilasi, Akomodasi, Separatis
Wilayah 3 : Theories Focusing on Identity Negotiation or Management
Teori ini muncul karena dalam komunikasi antarbudaya negosiasi identitas dalam interaksi antarbudaya merupakan kondisi yang tak terelakkan. Hal ini berangkat dari keyakinan bahwa budaya mempengaruhi pembentukan identitas individu, yang nantinya berpengaruh terhadap interaksi antarindividu. Terdapat tiga teori yang dirumuskan Gudykunst menyangkut masalah pengelolaan identitas individu terkait dengan budaya. Dalam pembahasannya, tiga teori tersebut tampaknya seperti sebuah proses untuk membahas satu persoalan dari sisi-sisi yang berlainan. Tiga teori tersebut adalah :
1. Identity Management
Identity Management Theory berangkat dari kompetensi komunikasi antarpersonal dan kemudian diyakini meluas hingga kompetensi komunikasi antarbudaya. IMT nampak dalam konteks kepentingan self-presentation dan facework (interaksi berhadapan langsung).
Dalam teori ini selanjutnya diungkapkan bahwa individu memiliki multi identitas, namun menurut Cupach & Imahori faktor dominan yang mempengaruhi identitas individu adalah budaya (cultural) dan identitas relasional (relational identities). Budaya memberikan pikiran, ide, cara pandang, sementara identitas relasional memberikan pola interaksi dan posisi sosial yang membentuk bagaimana individu hendak memproyeksikan karakter diirnya berdasarkan pengalamannya dalam menjalin hubungan dengan orang lain.
2. Identity Negotiation
Salah satu kompetensi dalam komunikasi antarbudaya adalah ‘the effective identity negotiation process between two interactants in a novel communication episode’. Dalam berkomunikasi dengan orang dari budaya yang berbeda, keahlian untuk menegosiasi identitas menjadi penting demi tujuan kesepemahaman. Oleh Ting-Toomey, dipaparkan delapan asumsi yang mendasari nilai penting negosiasi identitas tersebut :
a. Everyone has multiple images concerning a sense of self
b. Cultural variability influences the sense of self
c. Self-identification involves security and vulnerability
d. Identity boundary regulation motivates behavior
e. Identity boundary regulation involves a tension between inclusion and differentiation
f. Individuals try to balance self, other, and group memberships
g. Managing the inclusion-differentiation dialectic influences the coherent sense of self
h. A coherent sense of self influences individuals’ communication resourcefulness
3. Cultural Identity
Asumsi-asumsi yang dibangun dalam teori ini :
a. Indviduals ‘negotiate multiple identities in discourse’
b. Intercultural communication occurs ‘by the discursive assumption and avowal of differing cultural identities’.
c. Intercultural communication competence involves managing meanings coherently and engaging in rule following and outcomes that are positive
d. Intercultural communication competence involves negotiating ‘mutual meanings, rules, and positive outcomes’
e. Intercultural communication competence involves validating cultural identities
f. Cultural idenities vary as a function of scope , salience, and intensity
Wilayah 3 : Theories Focusing on Communication Networks
Teori ini berangkat dari asumsi bahwa perilaku individu dipengaruhi oleh relasi atau hubungan dengan individu-individu lain daripada karakter pribadi. Sebab dalam teori network atau jaringan, terdapat keyakinan yang lebih tinggi terhadap posisi dan relasi sosial daripada norma dan kepercayaan yang terinternalisasi diantara individu-individu. Teori ini juga memiliki asumsi bahwa komunikasi antarbudaya juga merupakan serangkaian jaringan antarindividu yang berbeda budaya.
Teori-teori yang tercakup di dalam wilayah ini :
1. Out-group Competency Theory
Teori ini menggunakan personal network untuk menjelaskan outgroup communication competence, sebab personal network menghubungkan antara individu satu dengan individu lainnya. Dimana didalam network tersebut, individu-individu menegosiasikan kesadaran egonya dan juga memahami atribusi yang beragam dari orang lain. Itu sebabnya personal network mempengaruhi bagaimana seseorang memiliki kompetensi dalam berkomunikasi dengan orang-orang yang bukan berasal dari in-groupnya (outgroup).
Teori ini juga hendak menjelaskan bahwa semakin kuat ikatan personal network seseorang, maka akan semakin tinggi pula kemampuannya untuk berkomunikasi dalam outgroup.
Asumsi-asumsi yang dibangun :
a. Dalam sebuah personal networks, adanya anggota yang berasal dari outgroup akan meningkatkan kompetensi komunikasi outgroup
b. Selain penerimaan individu outgroup, menempatkan outgroup dalam posisi penting dalam personal network juga akan meningkatkan kompetensi outgroup
c. Kompetensi komunikasi outgroup tersebut juga dapat ditingkatkan dengan meningkatkan kontak (interaksi) dan ikatan individual/personal diantara individu-individu dari ingroup dan outgroup
2. Intracultural Versus Intercultural Networks Theory
Teori ini didesain untuk menjelaskan perbedaan antara intracultural network dan intercultural network. Sebab terdapat keyakinan bahwa terdapat perbedaan antara perilaku dalam budaya yang sama dengan perilaku pada individu-individu dengan budaya yang berbeda. Terdapat setidaknya lima asumsi yang dapat digunakan untuk menjeaskan teori ini :
Asumsi-asumsi yang dibangun :
a. Intercultural networks tend to be radial and intracultural tends to be interlocking
Maksudnya, dalam intercultural network, jaringan yang terjadi cenderung pada individu dalam ingroup yang tidak terlibat dengan individu outgroup. Sementara dalam intracultural network, individu yang memiliki banyak jaringan dengan individu lain dalam ingroup akan cenderung memiliki jaringan yang lebih besar.
a. Intracultural networks are more dense
b. Intracultural networks are more multiplex
c. Intercultural network ties are more likely to be weak ties than strong ties
d. The roles of liaison and bridge will be more prevalent and more important for networks connectedness in intercultural networks
Maksudnya, intercultural adalah komunikasi yang dialkukan oleh ingroup satu dengan ingroup lainnya. Maka dalam proses komunikasi antarkelompok tersebut, peran-peran liaison dan bridge menjadi dominant. Sedangkan dalam intracultural network, relatif proses yang terjadi adalah ingroup communication.
3. Networks and Acculturation Theory
Asumsi-asumsi yang dibangun :
a. Imigran atau newcomer dalam suatu ingroup yang berbeda akan cenderung menjalin relasi atau link dengan individu-individu yang jelas identitasnya
b. Newcomer akan memiliki pengalaman sosial yang dipengaruhi oleh pengalaman social dari native culture-nya
c. Kemampuan newcomer untuk berakulturasi atau beradaptasi secara budaya dengan native culture juga dipengaruhi oleh kemampuan native culture hidup dalam lingkungan sosial newcomer
d. Manakala imigran terintegrasi dengan native culture, social networknya juga akan berubah
e. Dalam jaringan sosial yang semakin solid (erat), akan menurunkan kemampuan newcomer dalam proses berakulturasi. Sebab keterikatan antarindividu lebih dominan sehingga adaptasi budaya tidak terlalu tampak.

Tidak ada komentar: