Minggu, 25 Mei 2008

Model Komunikasi Akar Rumput

Di tradisi kita (masyarakat Asia), sebagai suatu aspek, keberadaan polling seperti People of The Year koran SINDO memang kurang berkembang layaknya berbagai poll service negara-negara Barat.
Apalagi dibandingkan dengan pemilu, misalnya, polling tentu tidak bisa mewakili semua suara rakyat. Namun, keberadaan polling seperti ini setidaknya membantu kita mencari model kepemimpinan ideal versi masyarakat. Satu aspek yang menarik disimak dari kepemimpinan ideal adalah akuntabilitas mereka sebagai figur pemimpin bagi rakyat. Figur pemimpin harus memiliki pengetahuan yang luas terkait apa yang dibutuhkan khalayak.
Dia harus bisa care dan peka terhadap masyarakat, bukan justru sibuk pada kalangan atas atau konglomerat. Pemimpin harus menyadari bahwa dia berkewajiban mewujudkan janji yang sebelumnya dia sampaikan kepada rakyat. Artinya keberadaan sosok pemimpin ideal itu harus sejajar dengan keinginan rakyat.
Saya melihat dari konteks sejarah kepemimpinan di Indonesia,unsur budaya Melayu yang inklusif begitu dominan memengaruhi gaya seorang pemimpin. Budaya kita cenderung menekankan budaya yang lebih sopan, halus —suatu nilai yang selama ini dianut masyarakat kita. Bahkan kalau kita lihat di Indonesia, Soekarno, Mohammad Hatta, Mohammad Natsir, Sutan Sjahrir banyak bicara mengenai unsur tradisi, dimensi manusiawi, ekonomi kerakyatan. Itu bagi saya seperti musyawarah, gotong-royong, semua dimanfaatkan untuk meningkatkan kepahaman masyarakat dan policy bagi rakyat.
Ada stereotip bahwa budaya Melayu cenderung pasif dan tunduk absolut kepada pemimpin. Namun saya tidak anggap itu sebagai ciri khusus. Budaya Melayu tidak seperti itu. Sikap kebertundukan mungkin menjadi sisa dari budaya pemimpin tradisional yang feodal. Sejatinya, budaya Melayu justru lebih pada budaya kerakyatan yang modern dan demokratis.
Dalam konteks ini, budaya Melayu dari segi musyawarah, gotong-royong ––kalau itu dihidupkan dalam pandangan kepemimpinan––, rakyat bisa selevel untuk melontarkan teguran, pandangan, penilaian terhadap sosok pemimpin.
Berbeda dengan Malaysia, Indonesia kini lebih bebas dan terbuka.Masyarakat berbicara didengar. Khalayak bisa menyampaikan aspirasinya secara terbuka.Jadi, suasana demokratis dan bebas itu membantu mengangkat hak dan kepahaman serta kepercayaan diri rakyat untuk mengungkapkan permasalahan dan pandangan terhadap tokoh-tokoh pemimpin —adanya polling seperti People of The Year mungkin salah satu mediumnya. Inilah model komunikasi dua arah rakyat dan elite yang sudah terjadi di Indonesia.Sementara di Malaysia justru masih one way.
Nilai Keislaman
Selanjutnya, saat berbicara mengenai nilai kepemimpinan di ranah Melayu, hal itu tidak pula dapat dilepaskan dari nilai-nilai keislaman. Dalam perspektif ini, nilai-nilai luhur Islam yang universal,soal kekuatan moral,etika,kepemimpinan, dan soal pertanggungjawaban mengemuka.
Akhirnya pertanggungjawaban seorang pemimpin bukan hanya kepada rakyat melalui pemilu, tapi ujungnya kepada Allah. Islam memang mengajarkan nilai akuntabilitas yang sangat tinggi. Sebenarnya saya tidak suka terhadap orang yang terlalu banyak bicara soal Islam, tetapi tidak menekankan diri pada kontennya.Di Malaysia ramai kampanyenya soal retorika Islam, tetapi korupsinya justru kian meningkat.Banyak elite politik tidak merasa segan atau malu memberi kontrak bisnis kepada anak-anak dan menantu mereka.
Belum lagi adanya kekejaman menahan kebebasan rakyat bersuara. Dalam konteks seperti ini, relevansi Islam sebagai sistem harusnya menjadi aspek yang mengedepan (mengemuka). Islam mengakui prinsip-prinsip seperti kebebasan, pertanggungjawaban serta kesejahteraan sosial dan ekonomi. Maka figur pemimpin harus berusaha memacu pertumbuhan ekonomi yang lebih laju; pemimpin harus memastikan bahwa aspek keadilan sosial,pemerataan kesejahteraan ditegakkan dengan seadiladilnya.
Pluralisme
Pada tatanan negara Melayu modern seperti Indonesia dan Malaysia, aspek multietnis tidak harus dijadikan masalah karena Allah menjadikan manusia itu sebagai kaum. Untuk apa kita dalam Alquran diperintahkan litaarafu; untuk saling mengenal, saling appreciate (menenggang) perbedaan.Nilai inilah yang harus dipahami pemimpin. Pemimpin harus bisa mewujudkan toleransi hingga perbedaan agama, kepercayaan, etnis ataupun ras tidak menjadi masalah.Adanya kasus pengekangan, diskriminasi terselubung ataupun marginalisasi kaum minoritas di suatu negeri tentu harus dihindari.Jika toh itu terjadi, ini tak lebih dari wujud iktikad pemimpin yang angkuh dan tidak menghormati kemanusiaan.
Role Model
Jika saya sekarang diminta untuk memilih satu tokoh Indonesia saat ini yang benar-benar saya kagumi, itu hal sukar bagi saya. Bagi saya, tokoh-tokoh di Indonesia saat ini adalah para sahabat saya dan saya tidak (bisa berada) dalam kapasitas memberi pilihan. Namun, melihat sejarah kepemimpinan Indonesia masa silam,di beberapa aspek, saya mengagumi Pak Natsir karena dia merupakan tokoh moderat, sederhana, berilmu, dan ide-idenya tentang pembangunan yang manusiawi begitu menginspirasi saya. Saya juga mengagumi Soekarno dari sisi nasionalismenya walau pada awalnya saya tidak setuju dengan beberapa pandangannya.
Sementara Hatta menjadi sosok inspirasional karena nilai-nilai kemanusiaan yang juga cukup kuat. Saya pengagum dia karena dia mengembangkan bidang ekonomi kerakyatan. Dan kini, melalui People of The Year,harapannya sekali lagi, SINDO bisa setidaknya memberi sarana yang mewakili suara masyarakat guna menentukan figur pemimpin pilihan yang menginspirasi. (*) Disarikan dari wawancara eksklusif SINDO pada 15 Desember 2007.
Dato Anwar Ibrahim
Mantan Wakil PM Malaysia Penasihat Partai Keadilan Rakyat

Tidak ada komentar: