Minggu, 25 Mei 2008

Komunikasi dalam Fenomenologi dan Hermeneutika

Komunikasi dalam Fenomenologi dan Hermeneutika
Oleh : Makyun Subuki

Komunikasi yang akan dikemukakan dalam tulisan ini berkaitan dengan teori-teori tentang pengalaman dan pemahaman. Asumsi inti yang melandasi teori tersebut adalah bahwa manusia secara aktif menginterpretasi pengalaman mereka dengan memberikan makna terhadap apa yang mereka lihat. Interpretasi dikenal juga sebagai verstehen (understanding), istilah dalam bahasa Jerman, yaitu proses pemberian makna aktif terhadap apa yang kita amati.
1. Fenomenologi
Fenomena merupakan penampakan objek, peristiwa, atau kondisi dalam persepsi. Dengan demikian, fenomenologi dapat diartikan sebagai kajian terhadap pengetahuan yang datang melalui kesadaran, yaitu cara kita memahami objek dan peristiwa melalui pengalaman secara sadar. Stanley Deetz mengemukakan secara ringkas tiga dasar asumsi dalam fenomenologi, yaitu (1) pengetahuan adalah kesadaran, maksudnya diperoleh secara sadar; (2) makna sesuatu bagi seseorang selalu terkait dengan hubungan sesuatu itu dengan kehidupan orang tersebut; dan (3) bahasa merupakan kendaraan makna.
Edmund Husserl, yang sering disebut sebagai bapak fenomenologi modern, menganggap bahwa penyingkapan realitas hanya mungkin dilakukan dengan pengalaman langsung yang sadar. Dengan ini, ia percaya bahwa kita dapat mengetahui sesuatu dengan baik melalui cara yang tidak bias dan membedakan manusia sebagai subjek dari benda sebagai objek. Anggapan ini ditolak oleh Merleau-Ponty, salah seorang pengikut Husserl. Menurut Merleau-Ponty, manusia, sebagai subjek yang mengetahui, adalah kesatuan fisik dan mental yang berhubungan dengan dunia di mana ia tinggal, oleh karena itu ia terpengaruh oleh dunianya dan sebaliknya memberikan makna bagi dunianya.
Cara kita memberikan makna bagi pengalaman kita adalah melalui komunikasi, sebab pengetahuan kita terkait dengan bahasa dan komunikasi. Alfred Schutz mengungkap tiga asumsi yang biasa kita buat dalam keseharian kita, yaitu (1) kita berasumsi bahwa realitas bersifat konstan; (2) kita berasumsi bahwa apa yang kita lihat adalah tepat; dan (3) kita berasumsi bahwa kita memiliki kuasa untuk mencapai tujuan kita. Pada kenyataannya, menurut Schutz, dunia kita merupakan dunia yang kita pelajari melalui komunitas kultural, dan hal itu berarti bahwa pengetahuan kita merupakan bagian dari situasi historis yang dikonstruksi secara sosial. Dengan demikian, dapat dipahami pula bahwa generalisasi, yang disebut Schutz tipifikasi (typifications), atau kategori-kategori yang berlaku dalam suatu budaya berbeda dari tipifikasi dalam budaya lainnya. Lebih lanjut, pengetahuan sosial, bagi Schutz, memiliki formula atau resep sosial (social recipes), yaitu tata cara yang dipahami dengan baik oleh masyarakat untuk bertindak sesuai dengan situasi yang menuntutnya.
Tokoh fenomenologi yang paling terkenal saat ini adalah Martin Heidegger, yang mencetuskan fenomenologi hermeneutis atau hermeneutika filosofis. Bagi Heidegger, yang terpenting adalah pengalaman natural terhadap hal yang tak dapat dielakkan. Oleh karena itu, bagi Heidegger, realitas sesuatu tidak diketahui melalui analisis atau reduksi, melainkan melalui pengalaman yang natural, yaitu melalui kegiatan berbahasa sehari-hari.
2. Hermeneutika
Hermeneutika merupakan kajian tentang pemahaman, dan lebih khusus pada interpretasi tindakan dan teks. Hermeneutika modern dipelopori oleh Friedrich Schleiermacher yang menggunakan pendekatan saintifik dalam analisis teks. Usaha Schleiermacher diteruskan oleh Wilhelm Dilthey yang percaya bahwa hermeneutika merupakan kunci untuk ilmu sosial dan kemanusiaan. Namun, ia menolak pendekatan saintifik yang dilakukan Schleiermacher, karena bagi Dilthey dunia manusia bersifat sosial dan historis serta tidak dapat diketahui secara objektif. Dengan ini Dilthey memulai relativisme historis yang umum berlaku dalam khazanah ilmu sosial saat ini.
Berkaitan dengan komunikasi, kita dapat menggunakan dua macam hermeneutika, yaitu hermeneutika sebagai perangkat memahami teks atau hermeneutika teks (text hermeneutics) dan hermeneutika sebagai perangkat memahami kebudayaan hermeneutika sosial atau hermeneutika kultural (social/cultural hermeneutics).
Teks dapat dipahami sebagai setiap artefak yang dapat diteliti dan diinterpretasi. Interpretasi dalam hal ini dipahami sebagai proses berjalan yang bergerak dari yang umum ke yang khusus dan sebaliknya, hal ini dapat disebut lingkaran hermeneutis (hermeneutics circle).
2.1 Paul Ricoeur
Bagi Ricoeur, teks tidak dapat ditafsirkan seperti peristiwa langsung ditafsirkan, sebab teks, termasuk wicara yang direkam, memiliki bentuk permanen yang terlepas dari situasi asli teks tersebut. Dengan kata lain, dengan melepaskan teks dari situasi, yang di sebut pen-jarak-an (distanciation), teks bisa memiliki makna yang berbeda dengan apa yang sebenarnya dikehendaki pengarangnya.
Lingkaran hermeneutis dalam pandangan Ricoeur memiliki dua aspek, yaitu eksplanasi (explanation) yang bersifat empiris dan analitis, yaitu menjelaskan peristiwa berdasarkan pola antarbagian yang terobservasi; dan pemahaman (understanding) yang bersifat sintetis, yaitu menjelaskan peristiwa secara keseluruhan berdasarkan interpretasi. Lebih mudahnya, dalam hermeneutika, menurut Ricoeur, seorang penafsir akan memecah belah teks menjadi bagian-bagian kecil, mencari pola-pola tertentu, dan memulai dari awal lagi untuk menjelaskan maknanya secara keseluruhan. Oleh karena itu, Ricoeur percaya adanya hubungan antara penafsir dan teks. Dalam hubungan ini, dengan keterbukaan penafsir terhadap makna teks (appropriation), teks bukan saja berbicara kepada penafsir, melainkan juga mempengaruhinya.
2.2 Stanley Fish
Menolak pandangan Ricoeur yang berpendapat bahwa makna terletak di dalam teks, Fish beranggapan, melalui reader-response theory, bahwa makna terlaak pada pembaca. Bagi Fish, teks hanya merangsang pembaca untuk melakukan pembacaan aktif, namun pada akhirnya pembacalah yang memberikan makna. Selanjutnya, Fish, dengan mengikuti pendekatan konstruksionisme sosial, mengemukakan bahwa setiap pembaca merupakan anggota dari masyarakat interpretif (interpretive communities), yaitu kelompok-kelompok yang saling berinteraksi, membentuk realitas dan makna secara bersama-sama, dan menggunakannya dalam proses pembacaan mereka. Artinya, menurut Fish, pemberian makna bukanlah perkara individual.
Baik Ricoeur maupun Fish, keduanya sependapat tentang pengabaian makna pengarang, naun Fish menolak distansiasi yang diajukan Ricoeur. Sebab, bagi Fish, pembaca selalu melekatkan makna mereka sendiri ke dalam teks, sehingga distansiasi tidak mungkin ada.
2.3 Hans-Georg Gadamer
Gadamer, yang merupakan murid Heidegger, beranggapan bahwa interpretasi secara natural merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari kita. Hal ini berarti bahwa pengalaman dan dunia merupakan jalinan yang secara virtual merupakan hal yang sama. Yang penting dalam pandangan Gadamer adalah bahwa setiap orang memahami pengalamannya berdasarkan praanggapan yang dibentuk oleh tradisi yang bersifat historis. Oleh karena itu, dalam pandangan Gadamer, kita secara simultan merupakan bagian dari masa lalu, masa kini, dan masa akan datang. Perubahan dalam hal ini dipandang sebagai hasil dari jarak temporal yang terbentuk melalui waktu yang mmpengaruhi kita cara mengantisipasi masa mendatang. Dengan demikian, pemahaman kita terhadap peristiwa dan objek sejarah diperkaya oleh jarak hisroris. Lebih jelasnya, pemaknaan teks, dalam pandangan Gadamer, merupakan hasil dialog dari makna yang kita miliki saat ini dan makna yang terdapat dalam teks secara historis. Proses interpretif tersebut bersifat paradoks, sebab di samping kita membiarkan teks berbicara, kita tidak dapat memahami teks terpisah dari prasangka dan praanggapan yang kita miliki.
Seperti Heidegger, Gadamer percaya bahwa pengalaman kita secara inheren terdapat dalam bahasa. Sebab perspektif tradisi yang kita gunakan untuk memahami dunia terdapat dalam kata-kata. Oleh karena itu, Gadamer berpendapat bahwa bahasalah yang menyediakan cara kita memahami pengalaman kita. Dengan kata lain, dalam komunikasi, hubungan terjadi bukan semata-mata interaksi antarpersonal, melainkan hubungan triadik, yaitu hubungan interaksi antarpersonal dan bahasa. Dengan cara ini, Gadamer menganggap bahwa fenomenologi dan hermeneutika merupakan proses yang tidak dapat dipisahkan.
3. Interpretasi Kebudayaan
Istilah lain bagi interpretasi kebudayaan adalah etnografi (etnography). Clifford Geertz menyebut interpretasi kebudayaan sebagai thick description, yaitu interpretasi kebudayaan dari sudut pelaku asli budayanya, dan membedakannya dari thin description, yaitu upaya interpretasi kebudayaan yang semata-mata mendeskripsikan pola tingkah laku berdasarkan sudut pandang yang hanya sedikit memiliki kesamaan dengan pelaku asli budayanya. Seperti seluruh jenis hermeneutika, Geertz juga membahas tentang lingkaran hermeneutis. Dalam pandangannya, interpretasi terkait dengan lingkaran hermeneutis yang mencakup pergerakan dari experience-near concept, yaitu makna budaya seperti dialami oleh pelaku aslinya menuju experience-distant concept, yaitu makna budaya bagi orang luar, dan sebaliknya.
Lebih jauh, Donald Carbaugh dan Sally Hasting menyebut empat proses yang terjadi dalam etnografi, meliputi: pertama, mengembangkan dasar orientasi terhadap budaya dan manifestasi budaya yang akan diteliti; kedua, mendefinisikan kategori aktivitas yang akan diteliti; ketiga, merancang teori yang bersifat spesifik demi kepentingan penelitian; dan keempat, mengaplikasikan teori dan, selanjutnya, mengujinya pada kasus tertentu.
3.1 Etnografi Komunikasi
Etnografi komunikasi pada dasarnya adalah aplikasi metode etnografis pada pola komunikasi kelompok tertentu. Gerry Phlipsen menyebut empat asumsi yang terdapat dalam etnografi komunikasi, yaitu: pertama, seluruh partisipan dalam masyarakat budaya tertentu turut menciptakan makan yang dimiliki bersama; kedua, setiap peserta komunikasi dalam kelompok budaya harus mengkoordiansikan tindakan mereka; ketiga, makna dan tindakan bersifat khas bagi masing-masing kebudayaan; dan keempat, selain makna, cara memahami kode dan tindakan dalam setiap budaya bisa jadi berbeda.
Menurut Hymes linguistik formal tidak akan mampu memahami bahasa secara utuh, sebab ia mengabaikan kenyataan bahasa dalam penggunaannya sehari-hari. Ia selanjutnya menyebut sembilan kategori yang dapat digunakan untuk membandingkan perbedaan antarbudaya, yaitu: (1) cara bertutur (ways of speaking) atau pola komunikasi; (2) kefasihan ideal penutur (ideal of the fluent speaker); (3) komunitas wicara (speech community); (4) situasi wicara (speech situation); (5) tindak tutur (speech act); (6) komponen tindak tutur; (7) peristiwa wicara (speech event); (8) kaidah bertutur dalam komunitas; dan (9) fungsi wicara dalam komunitas.
Berdasarkan pendapat Carbaugh, etnografi komunikasi setidaknya mengkaji tiga masalah, yaitu pertama, mengungkap identitas bersama (shared identity) komunitas yang tercipta melalui komunikasi; kedua, mengungkap makna bersama (shared meaning) bagi prestasi publik yang terlihat dalam kelompok; dan ketiga, mengeksplorasi kotradiksi dalam kelompok.
Untuk dapat sampai pada hal tersebut, terdapat tiga masalah yang harus dijelaskan terlebih dulu, yaitu pertama, masalah norma (questions of norms), berkaitan dengan cara komunikasi digunakan dalam memapankan aturan-aturan dan dengan cara kategori baik-buruk mempengaruhi proses komunikasi; kedua, persoalan bentuk (questions of forms), berkaitan dengan jenis-jenis komunikasi yang digunakan dalam masyarakat; dan ketiga, persoalan kode budaya (question of cultural codes), berkaitan dengan makna simbol dan tingkah laku yang digunakan dalam komunikasi dalam komunitas.
Berkenaan dengan kode, Philipsen menyebut beberapa klaim tentang hal yang disebutnya kode wicara (speech code), yaitu (1) kode bersifat distingtif; (2) kode wicara mengkonstitusi makna distingtif bagi cara bersikap sebagai pribadi, cara bergaul dengan orang lain, dan cara berkomunikasi; (3) kode membimbing para peserta komunikasi untuk mengalami secara sadar saat berinteraksi; (4) kode wicara tercakup dalam peristiwa wicara sehari-hari; dan (5) kode wicara memiliki kuasa yang dasar evaluasi dan pengarahan komunikasi oleh budaya.
3.2 Performance Etnography
Tampilan budaya (cultural performance) mencakup juga manipulasi media yang dapat dialami oleh indera. Tampilan publik dalam kebudayaan laksana drama sosial yang di dalamnya terdapat hubungan dan ide-ide yang bekerja. Seperti halnya drama yang memiliki batas-batas, makna merupakan batas atau pintu yang menghubungkan satu hal dan keadaan kepada hal dan keadaan lainnya. Menurut Victor Turner sebuah drama sosial biasanya mengalami proses tertentu, meliputi pertama, pelanggaran (breach), yaitu kekerasan atau serangan terhadap tatanan komunitas; kedua, krisis, yang digerakkan oleh pelanggaran; ketiga, proses perbaikan (redressive procedures); dan keempat, reintegrasi (reintegration).
Etnografi tampilan budaya ini dan mengatasi pendapat tradisional tentang bahasa dan memperluasnya hingga pada level penerapan (embodied practice). Bidang ini sangat berguna bagi bidang komunikasi, sebab komunikasi sering kali dipahami sebagai tampilan.
3.3 Kebudayaan dalam Organisasi
Organisasi, yang dapat dilihat sebagai cara hidup anggotanya, menciptakan juga realitas yang dimiliki bersama yang berbeda dari kebudayaan lain melalui interaksi para anggotanya. Sebab, tindakan yang mengarah pada tujuan (task-oriented action) tidak dipahami langsung secara objektif, melainkan melalui penguatan cara-cara tertentu yang secara sadar diperoleh dengan memahami pengalaman.
Pacanowsky dan O'Donnell Trujilo menyebuit empat ciri tampilan komunikasi, yaitu pertama, bersifat interaksional; kedua, bersifat kontekstual; ketiga, terdiri atas episode-episode; dan keempat, selalu berkembang. Selanjutnya, mereka menyebut tampilan komunikasi dalam organisasi, yaitu pertama, ritual, terulang secara reguler, meliputi personal ritual, task ritual, social ritual, dan organizational ritual; (2) gairah (passion), tampilan yang menjadikan ritula menjadi menarik dan menggairahkan, terdiri atas storytelling, yaitu penderiataan aktivitas yang berualng-ulang, dan passionate repartee, yaitu interaksi dramatis dengan penggunaan bahasa yang hidup; (3) sosialitas (sociality), yaitu hal yang membuat aturan sosial dapat bekerja; (4) politik organisasi (organizational politics), yaitu tampilan yang menciptakan kuasa dan pengaruh; dan (5) enkulturasi (enculturation), proses pengajaran budaya oeh anggota organisasi.
3.4 Kajian Media Interpretif
James Lull menyebut bidang ini dengan nama etnografi komunikasi masa (etnography of mass communication). Dalam kajian media tradisional, media dianggap sebagai saluran (channel) yang digunakan untuk mengirim informasi kepada audiens. Saat ini, pendekatan yang lazim dalam memahami media adalah memahami bahwa audiens adalah masyarakan interpretif yang memberi makna tersendiri bagi apa yang mereka lihat, dengar, dan saksikan. Mengikuti pendapat Fish, sebauah masyarakat interpretif ini akan mengembangkan sendiri pola konsumsinya, yaitu pemahaman umum tentang isi dari apa yang mereka lihat, dengar, baca, dan saksikan yang membentuk hasil yang juga dimiliki bersama. Thomas Lindolf lebih jauh melihat tiga dimensi, yang disebutnya genre, komunitas interpretif, yaitu pertama, isi (content), program ataupun media lain yang dikonsumsi oleh sebuah komunitas; kedua, interpretasi, yaitu pemaknaan bersama; dan ketiga, tindakan sosial (sacial action), yaitu tingkah laku yang merupakan akibat dari pemahaman terhadap media.
Diringkas dari
Littlejohn, Stephen W,. 2002. Theories of Human Communication (edisi ketujuh). Belmont: Thomson Learning. Hal. 184-202

Tidak ada komentar: